Studi tentang tokoh dalam satu disiplin ilmu
bukanlah sesuatu yang tak berarti. Studi ini akan menghasilkan pengetahuan
bahwa apa yang dilakukan tokoh ini adalah hasil kerja intelektual yang patut
untuk diteladani, kemudian akan diketahui latar belakang munculnya ilmu-ilmu,
perkembangan ilmu-ilmu, perbandingan dengan tokoh lainnya pada masa yang sama
ataupun berbeda, dan lain sebagainya.
Dalam tulisan ini sedikit akan dipaparkan biografi seorang
tokoh vital dalam sejarah ilmu bahasa Arab. Beliau adalah Al-Khalil bin Ahmad,
seorang tokoh luar biasa yang perannya dalam ilmu bahasa Arab begitu besar.
Kebanyakan tulisan ini disarikan dari buku al-madaris an-nahwiyyah
karangan DR Syauqi Dhaif tetapi disajikan dengan sistematika yang berbeda
sesuai dengan yang dibutuhkan.
Biografi Al-Khalil bin Ahmad
Nama lengkap beliau adalah Abu ‘Abd
ar-Rahman Al-Khalil ibn Ahmad ibn ‘Amr ibn Tamim Al-Farahidi Al-Azdi. Beliau
lahir di Basrah pada tahun 100 H dan tinggal di sana hingga wafat tahun 170 H,
atau tahun 175 H menurut sebagian pendapat. Ayah beliau adalah orang yang
pertama kali menggunakan nama Ahmad setelah Nabi Muhammad SAW.
Sejak kecil beliau senantiasa mengikuti
kajian-kajian ilmu mulai dari hadits, fiqih, dan juga bahasa. Guru yang paling
berpengaruh adalah ‘Isa ibn ‘Amr dan Abu ‘Amr ibn al-’Ala’. Beliau juga gemar
mempelajari ilmu-ilmu lainnya yang berasal dari luar Arab, terutama matematika.
Beliau adalah sahabat dan juga pengagum Ibn Muqoffa’. Al-Khalil membaca semua
karya terjemahan Ibn Muqoffa, dan juga lainnya, termasuk ilmu tentang irama
musik, yang berasal dari Yunani. Beliau sangat menguasai ilmu tentang musik
ini, sampai-sampai dijadikan pegangan oleh Ishaq al-Mushili dalam karyanya
tentang ilmu tersebut.
Al-Khalil merupakan seorang yang jenius. Beliau tidaklah
mempelajari suatu ilmu kecuali hingga sampai rinci dan dibukakan apa yang belum
diketahuinya. Benar saja apa yang dikatakan Ibn Muqoffa’ bahwa kecerdasan
(aqal) beliau lebih banyak daripada ilmu beliau. Beliau adalah seorang yang
menjadikan intelektualitas sebagai hartanya yang tak ternilai dan bersikap
zuhud dalam urusan harta benda.
Peran Al-Khalil dalam Ilmu Bahasa Arab
Al-Khalil adalah tokoh yang sangat vital dalam
sejarah ilmu bahasa Arab. Peran beliau dalam ilmu ini hampir meliputi semua
aspek ilmu bahasa, mulai dari fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, hingga
ilmu-ilmu lainnya yang berkaitan dengan bahasa Arab.
Peran Al-Khalil dalam Fonologi
Bahasa Arab (‘ilm al-ashwat)
Fonologi ialah bidang ilmu bahasa yang
mempelajari, menganalisis, dan membicarakan runtunan bunyi-bunyi bahasa, entah
membedakan makna (fonemik), ataupun tidak (fonetik). Ilmu ini meliputi
bagaimana mekanisme alat-alat bicara manusia bekerja dalam menghasilkan bunyi
bahasa, serta bagaimana bunyi-bunyi ini diklasifikasikan.
Terkait dengan ilmu ini, peran Al-Khalil dapat
dilihat aplikasinya dalam buku beliau yang berjudul Al-’Ain. Al-’Ain merupakan
buku kamus pertama dalam bahasa Arab yang mengumpulkan sekian banyaknya
kosakata bahasa Arab. Sistem yang digunakan Al-Khalil dalam kamus beliau adalah
dengan menyusun kata-kata berdasarkan tempat keluarnya bunyi huruf (makharij
al-huruf). Dalam hal ini, beliau mengawali dengan bunyi bahasa yang keluar dari
dalam tenggorokan (al-halq), kemudian lidah (al-lisan), rongga mulut (al-fam),
dan dua bibir (asy-syafatain).
Berikut adalah urutan huruf berdasarkan tempat
keluar bunyinya yang beliau terapkan dalam kitab al-Ain:
ع ح هـ خ غ ق ك ج ش ض ص س ز ط د ت ظ ذ ث ر ل ن ف ب م ي و ء
(urutan -> dari kanan
ke kiri)
Menurut Syauqi Dhaif, setidaknya terdapat tiga
segi pembahasan Al-Khalil terkait dengan bunyi bahasa.
1.
Merasakan bunyi huruf konsonan, yaitu
dengan membuka mulut dengan huruf alif (vokal a) kemudian diikuti dengan huruf
yang akan diuji dengan disukunkan. Untuk menguji huruf ba’(ب)
maka diucapkan ab (أَبْ), untuk huruf
ta’ (ت)
maka diucapkan at (أَتْ), dan
seterusnya.
2.
Sifat alat wicara dalam mengeluarkan
bunyi huruf. Dalam hal ini, Al-Khalil memperkenalkan istilah hams, jahr,
syiddah, rakhawah, isti’la, dan istifal, kemudian isymam, imalah, dan raum.
Perubahan yang terjadi pada bunyi huruf ketika dalam tataran
kata. Dalam hal ini, Al-Khalil memperkenalkan konsep qalb, hazf,
i’lal, ibdal, dan idgham.
Termasuk kontribusi beliau dalam bidang ini
adalah konsep beliau dalam pembuatan tanda-tanda bunyi dalam penulisan. Al-Khalil
memperkenalkan penggunaan tanda titik dan harakat (syakal). Beliau menandai
bunyi u (dammah) dengan wawu kecil di atas huruf, bunyi a (fathah) dengan alif
yang ditulis horizontal, dan bunyi i (kasrah) dengan ya’ kecil yang disambung
dibawah huruf.
Konsep dan pemikiran Al-Khalil dalam bidang
bunyi bahasa ini ditengarai banyak dipengaruhi pengetahuan beliau tentang
bahasa Sansekerta, bahasa bangsa India. Urutan huruf dalam bahasa ini juga
disusun berdasar asal bunyi
Peran Al-Khalil dalam Morfologi Bahasa
Arab (‘ilm as-sharf)
Morfologi adalah ilmu bahasa yang berbicara
dalam tataran kata, atau lebih tepat diistilahkan dengan morfem. Dalam Bahasa
Arab, morfologi dikenal dengan istilah as-sharf, yaitu ilmu yang mempelajari
kata-kata (atau kalimah dalam Bahasa Arab), meliputi segala sesuatu yang
berkaitan dengannya sebelum masuk dalam kalimat.
Al-Khalil dalam kitab al-’Ain banyak memberikan
contoh-contoh perubahan yang terjadi dari satu kata. Hal ini maklum karena buku
beliau tersebut memang dimaksudkan sebagai kumpulan kosakata. Yang menjadi
istimewa dalam buku ini adalah bagaimana beliau memperkenalkan isytiqaq kabir,
yaitu ketika beliau menunjukkan variasi kata yang muncul dari tiga huruf yang
sama.
Terkait dengan ilmu ini, Al-Khalil memunculkan
konsep pembagian kalimah menjadimujarradah dan mazidah.
Yang pertama adalah yang kalimah yang tidak
terdapat huruf tambahan yang lazim, berbeda dengan yang kedua. Beliau
menyatakan bahwa kalimahyang mujarradah jumlah
huruf aslinya tidaklah lebih dari lima dan tidak kurang dari tiga. Beliau
kemudian membuat ukuran (wazn) untuk yang tiga huruf (tsulatsi)
dengan fa’, ‘ain, dan lam (فعل), kemudian menambahkan satu lam di akhir untuk ruba’i,
yang terdiri dari empat huruf asli (فعلل) dan dua lam untuk yang khumasi (فعلّل). Kemudian, Al-Khalil
menyatakan bahwa huruf tambahan dalam hal ini ada sepuluh, yaitu س, أ, ل, ت, م, و, ن, ي,هـ, dan ا, atau yang dikumpulkan dalam kalimat سألتمونيها. Beliau juga
membuatkan waznuntuk tiap mazidah,
semisal أفعل, تفعّل, استفعل, dan lainnya.
Kemudian, sebagaimana telah disampaikan di
atas, bahwa Al-Khalil adalah yang membuat kaidah-kaidah
perubahan-perubahan yang terjadi dalam pembentukan kata terkait bunyi bahasa.
Beliau membuat kaidah tentang qalb, hadzf, I’lal, ibdal, dan idgham.
Contoh, beliau menyatakan bahwa huruf tambahan
lebih layak untuk dibuang, seperti dalam pembuatan ism maf’ul dari fi’l tsulatsi yang ajwaf (terdapat
huruf ‘illat di tengah). Kata مَقُوْلٌ, aslinya adalah مَقْوُوْلٌ berdasar wazn مَفْعُوْلٌ, harakat dhomah
dipindahkan ke qof (naql al-harakah), kemudian wawu
yang kedua yang bukan huruf asli kata dihilangkan (hadzf)
Peran Al-Khalil dalam Sintaksis Bahasa Arab (‘ilm
an-nahw)
Al-Khalil bin Ahmad adalah guru para ahli
nahwu. Di antara murid beliau adalah Sibawaih, penulis Al-Kitab, sebuah
karya besar dalam ilmu tata bahasa arab. Dalam karya yang dianggap sebagai
rujukan utama ini, Sibawaih banyak menukil pernyataan Al-Khalil.
Al-Khalil adalah orang yang membuat
istilah-istilah nahwu seperti mubtada’, khabar, maf’ul bih, fa’il,
hal, tamyiz, dan lain sebagainya. Beliau juga yang
mengistilahkanrafa’, nashab, dan khafd, serta jazm pada I’rab kalimah,
dan mengistilahkan harakah mabnidengan dham, fath, kasr, dan waqf (sukun).
Selain itu, terdapat dua teori penting yang
dirintis oleh Al-Khalil dalam ilmu nahwu, yaitu konsep beliau tentang
‘amil dan ma’mul,
dan konsep mengenai dasar kaidah nahwu yang meliputi sima’,
ta’lil, dan qiyas.
Konsep ‘amil dan ma’mul Al-Khalil bisa
disimpulkan dari apa yang dituliskan muridnya, Sibawaih, dalam Al-Kitab.
‘Amil menurut
beliau biasanya berupa lafdzi, misal, mubtada‘
sebagai ‘‘amil yang
me-rafa’-kan khabar, fi’il me-rafa’-kan fa’il dan
me-nashab-kan maf’ul.
Akan tetapi, beliau juga menunjukkan ada ‘amil yang bersifat ma’nawi,
misalnya adalah ‘amil yang me-rafa’-kan mubtada.
Kemudian, ‘amil dapat
berupa ‘adat dan huruf semisal كان dan semisalnya yang
me-rafa’-kan ismnya dan me-nasab-kan
khabarnya, lalu إنّ dan semisalnya yang me-nashab-kan
ismnya dan me-rafa’-kan khabarnya.
Selanjutnya, ‘amil menurut
beliau ada yang ditampakkan (zhahirah)
dan ada yang dihilangkan (mahdzufah). Contoh yang
dihilangkan adalah semisal ‘amil yang me-rafa’-kanالمسكين dalam kalimat مررت به
المسكين, apabila
ditampakkan adalah مررت به هو المسكين. Demikian juga ma’mul,
ada yang dihilangkan.
Selain ‘amil dan ma’mul serta
kaidah-kaidah nahwu lainnya yang beliau tetapkan.Al-Khalil juga
menghadirkan istilah ta’wil dan pengecualian jika terdapat
contoh ucapan yang bertentangan dengan kaidah yang beliau tetapkan. Misalnya,
beliau menetapkan bahwa hal harus dibentuk
dari isim nakirah. Nah, ketika muncul hal berupa
isim ma’rifat beliau melakukan ta’wi>l atau
pengalihan asumsi dari yang tampak. Contoh bentuk ini adalah kalimat مررت بهم
الجمّاء الغفير, Al-Khalil men-ta’wil-nya
dengan bahwa maksudnya adalah مررت بهم جما غفيرا . Dari konsep ta’wil beliau
ini kemudian beliau menunjukkan banyaknya kemungkinan i’rab dalam
satu kalimat.
Al-Khalil mendasarkan penyusunan
kaidah-kaidah tata bahasa Arab dengan tiga macam metode, yaitu dengan mendengar
(sima’), membuat alasan (ta’lil),
dan membuat analogi (qiyas).
Metode yang pertama, sima’,
beliau lakukan dengan jalan mendengarkan secara langsung perkataan ahli Qur’an
atau Qurra’, dan penduduk pedalaman yang bisa dipercaya
kefasihannya. Beliau banyak menggunakan puisi-puisi badui dan perkataan mereka
untuk kemudian menyusun teori atau kaidah secara induktif darinya. Dalam hal
ini, Al-Khalil tidak mengindahkan para perawi hadits karena
kebanyakan dari mereka adalah orang-orang non-arab.
Metode yang kedua, yaitu ta’lil,
menyatakan kepastian adanya penyebab (‘illah)
dalam i’rab. Dalam hal ini, dicontohkan bahwa hukum asal
dari isim adalah mu’rab, sedangkan isim-isim yang mabni adalah
karena terdapat ‘illah berupa keserupaan dengankalimah huruf.
Hukum asal selain isim adalah mabni.
Metode yang ketiga, yaitu qiyas,
yaitu membuat ukuran atau kaidah dari perkataan orang Arab kemudian
menerapkannya dalam kasus yang lainnya. Tentang qiyas ini,
Syauqi dalam bukunya banyak menerangkannya dengan langsung menukil redaksi
Sibawaih dalam bukunya. Sibawaih mencontohkan qiyas ini
dengan apa yang berlaku dalam perbedaan i’rab dalam munada.
Dari konsep qiyas ini kemudian muncul istilah syadz bagi
perkataan yang tidak sesuai dengan ukuran atau kaidah qiyas.
Demikianlah, Al-Khalil bin Ahmad
serta muridnya, Sibawaih, adalah dua orang tokoh terpenting dalam ilmu Nahwu.
Peran Al-Khalil dalam Leksikografi Arab (Penulisan
Kamus)
Sebagaimana disebut di
atas, Al-Khalil telah membuat buku yang memuat kosakata-kosakata
bahasa Arab. Kitab Al-’Ain adalah kamus
bahasa Arab pertama yang telah dibuat.
Urutan kata-kata dalam Al-’Ain ini
didasarkan kepada urutan letak keluarnya bunyi huruf, mulai dari tenggorokan
bagian dalam, yaitu huruf ‘ain (ع). Oleh karena itu, kitab
ini diberi nama Al-‘Ain.
Di buku tersebut Al-Khalil menyusun
kata-kata yang mungkin muncul dalam bahasa Arab dengan membuat variasi dari
permutasi tiga huruf penyusunnya. Misal, dari hurufkaf, ta’,
dan ba’ bisa dibuat kataba, kabata,
takaba, tabaka, bataka, dan bakata.
Kemudian,Al-Khalil membedakan hasil variasi mana yang dipakai sebagai kata
dalam bahasa Arab.
Metode yang
diterapkan Al-Khalil dalam menyusun kamus ini adalah hasil
pengetahuannya atas ilmu matematika, khususnya teori tentang permutasi dan
asosiasi.
Walaupun metode ini tidak diikuti oleh para
pakar pada masa berikutnya, tetapi ini merupakan sebuah temuan yang berharga.
Walaupun demikian, karya Al-Khalil dalam menunjukkan makna leksikal
kata-kata bahasa Arab ini adalah yang pertama, jauh sebelum ditulisnya Lisan al-‘Arab oleh Ibn
Mandzur, ataupun Al-Munjid. Kontribusi beliau dalam bidang semantik ini adalah
bukti keluasan ilmu beliau.
Al-Khalil sebagai Peletak Dasar ‘Ilm al-‘Arudh
Telah disebutkan
bahwa Al-Khalil adalah seseorang yang menjunjung tinggi
intelektualitas. Beliau banyak mempelajari ilmu dari mana saja, termasuk dari
tradisi Yunani, semisal matematika dan ilmu tentang nada dan irama musik.
Kemudian dari pengetahuan akan berbagai macam ilmu tadi, beliau mampu menemukan
ilmu dan metode yang spektakuler pada saat itu.
Salah satu karya terbesar beliau adalah 15
buah bahr dalam ilmu al-‘arudh. Beliau adalah orang
yang pertama kali membuat konsep tersebut. Oleh karenanya beliau dikenal
sebagai peletak dasar ilmu al-’arudh, yaitu ilmu yang mempelajari tentang
irama atau ketukan syair bahasa Arab.
Beliau membuat wazn-wazn puisi
arab dengan melakukan variasi dari permutasi apa yang beliau istilahkan
dengan tafa’il. Dari sekian banyaknya hasil variasi
tersebut, beliau menentukan mana yang digunakan oleh orang Arab dalam puisi
mereka dan mana yang tidak. Cara ini identik dengan apa yang beliau terapkan
dalam penyusunan bukual-‘Ain.
Diceritakan bahwa ilmu ini beliau temukan
setelah kembali dari haji di tanah haram. Saat di sana, beliau memohon
diberikan sebuah ilmu yang sama sekali belum pernah ada sebelumnya. Kemudian,
ditemukanlah ilmu ‘arudh oleh seorang intelek yang saleh dan zahid
ini, Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi.
Referensi Utama:
Syauqi Dhaif, Al-Madaris An-Nahwiyyah,
(Mesir: Dar al-Ma’arif, 1976)






0 komentar:
Posting Komentar