senat mahasiswa indonesia fakultas bahasa arab mesir

Minggu, 08 Juli 2012

MADRASAH NAHWU BASRAH & KUFFAH

1. PROLOG

Empat belas abad silam, ditandai dengan wahyu yang turun kepada
Rasulullah saw, agama Islam dikenalkan di bumi suci jazirah arab.
Bangsa yang memiliki seribu rahasia sejarah, bangsa yang tidak
terlampau jauh silsilahnya dengan bangsa Sumeria, salah satu dari
peradaban tertua di dunia.

Sudah disinggung pada kajian sebelumnya bahwa bangsa arab dari
masa ke masa telah mengalami perubahan di berbagai lini kehidupan,
baik sosial, politik, hukum dan sebagainya. Sejalan dengan itu semua
bahasapun memainkan peran yang tidak kalah penting dalam mengatur
masyarakat.

Ya, Islam bukan dihadiahkan untuk penduduk yang tinggal di sekitar
Makkah dan Madinah saja, melainkan untuk seluruh umat manusia di
seluruh penjuru dunia. Kesuksesan para pengikut setia Rasul, khusus
para sahabat dalam misi menyampaikan nilai kebenaran dan menebar
butir-butir al-furqaan sudah cukup membanggakan, hampir seluruh
anak negeri benua Asia Barat ini berkenalan dengan lughatul qur'an.

Ibarat bunga di hamparan taman akan banyak hama atau tumbuhan liar
yang merusak, dan menjadi keharusan bagi si pemilik untuk tidak
membiarkannya. Berkaca dari perumpamaan di atas, ilmu bahasa Arab
mulai ramai dikaji dan didiskusikan oleh para sarjana Islam kala itu.
Kota Bashrah di antaranya, di sanalah lahir dan berkembang madrasah
nahwiyyah, disusul oleh saudara mudanya bernama Kufah, dua kota
yang tidak akan pernah padam dari api sejarah.

Mengacu pada silabus serta maraji' yang tersedia, makalah singkat kami
akan mengulas seputar sejarah madrasah nahwu di kota Bashrah dan
Kufah saja, dan tidak banyak yang kami singgung kecuali beberapa
pembahasan sederhana, di antaranya ;

a.     Munculnya madrasah Bashrah bersamaan dengan lahirnya ilmu nahwu

b.     Thabaqat al-bashriyyin

c.     Madrasah Kufah, Lahir dan berkembangnya

d.    Karakteristik ilmu nahwu madrasah Kufah

e.     Beberapa Guru Besar madrasah kufah

Demikian wacana singkat dari makalah yang akan kami paparkan,
dan sudah barang tentu jauh dari kesempurnaan, untuk itu besar
hati kami untuk menerima kritik dan saran, semoga bermanfaat bagi
kita semua, amin.

2. ISI

A.   Madrasah Bashrah

a.     Munculnya madrasah Basrah
Kota Bashrah, yang konon sudah mencicipi Islam pada masa kholifah
'Umar bin Khattab r.a., telah berhasil menjadi pionir lahirnya sebuah
ilmu tata Bahasa Arab yang disebut dengan ilmu nahwu. Salah satu
ilmu yang sangat penting kedudukanya dalam gramatikal Bahasa Arab.
Dengannya, al-qur'an dan al-hadits terjaga dari cacat yang bisa merusak
makna yang dimaksudkan. Salah seorang penyair berkata
menggambarkan betapa pentingnya ilmu nahwu :

النحو أولى اوّلا أن يعلم   اذالكلام دونه لن يفهم

Sepanjang lika-liku sejarah, ilmu nahwu telah mengalami beberapa tahapan, mulai dari marhalah "wadh'I wa at-takwin" ditangan Bashriyyin, kemudian marhalah "an-nasy'i wa an-numuw", marhalah "an-nudhj wa al kamal" kedua-duanya berada di bawah naungan Bashriyyin dan Kufiyyin, menyusul setelahnya marhalah "at-tarjih" di tangan madrasah Baghdad.

Bashrah, sebuah kawasan di dekat kota Baghdad, d isanalah ilmu nahwu lahir dan tumbuh. Sebagai pionir ilmu nahwu tentunya kota pelabuhan dagang itu mempunyai beberapa kondisi yang menjadikan ilmu tersebut dapat kita rasakan sampai sekarang. Kondisi tersebut diantaranya ;

1.Letak geografis Bashrah yang berada pada jarak 300 mil dari sungai Tigris dan Eufrat sangat memungkinkan untuk membentuk personalitas penduduk yang membuat mereka terkenal dengan kematangan berfikir. Letak kota Bashrah yang berada di pedalaman juga menjadikan penduduk fashih dalam berbahasa tanpa adanya pengaruh dari bahasa asing.

2.Stabilitas sosial yang bagus, terlepas dari kelabilan politik dan pertentangan madzhab yang menjadikannya mempunyai peradaban yang tinggi ditambah lagi dengan kesibukan penduduk dalam aktifitas keilmuan, sehingga hal ini menjadikan Bashrah mempunyai kehidupan intelektual yang tertib.

3.Pasar Mirbad yang terletak di pintu barat kota Bashrah menjadi perkembangan keilmuan semakin pesat karena banyaknya orang yang berkunjung untuk menyaksikan kebolehan para penyair memainkan kata-kata.

4.Masjid–masjid di kota Bashrah yang menjadi salah satu pusat pengembangan dalam berbagai ilmu juga menjadi pendukung bagi perkembangan nahwu dari masa kemasa.

Sejenak kita mengingat memori lama yang tak akan pernah terlupakan tentang bagaimana nahwu terlahir sebagai sebuah disiplin ilmu. Telah tercatat dalam sejarah dengan berbagai versi cerita, bagaimana munculnya kekhawatiran dari seorang Abu al-Aswad ad-Dualy tentang rusaknya gramatikal bahasa arab jika tidak ada sebuah kaidah yang mengikatnya. Salah satu riwayat menyebutkan, suatu ketika Abu al-Aswad mendengar  putrinya berkata, mengungkapkan rasa kagumnya pada bintang yang memantulkan cahaya dengan kalimat "Maa ahsanussamaa'i"  yang seharusnya adalah "Maa ahsanassamaa'a", yang merupakan sighah ta'ajjub qiyasiy dalam pembahasan ilmu nahwu yang kita ketahui sekarang ini. Setelah masa Abu al-Aswad, perbedaan mulai timbul di antara para muridnya, seperti ‘Abdurrahman bin Hurmuz, Maimun al-Aqran, ‘Anbasah al-Fil, Yahya bin Ya‘mur, Nasr bin ‘Ashim, dan juga para murid berikutnya, seperti ‘Isa bin ‘Umar, Abu ‘Amr bin al-‘Ala, dan Yunus bin Habib.
                        
Terkait dengan perkembangan ilmu nahwu madrasah Bashrah, sebagaimana yang didiskusikan pada salah satu forum kajian linguistik di Indonesia, ada lima  karakteristik umum perkembangan madrasah bashrah, yaitu:

1. Penggunaan contoh dan dalil. 


Cara ini dipakai agar pendapat yang diambil benar dan sesuai dengan perkataan orang Arab. Abu al-Aswad memakai cara ini ketika Bani Qusyair mempertanyakan masuknya dia ke dalam kelompok Syiah. Kemudian Abu al-Aswad mengucapkan sebuah syair yang berbunyi;


ولست بمخطئ إن كان غيا فإن يك حبهم رشدا أصبه

Syair ini adalah bukti bahwa Abu al-Aswad tidak ragu-ragu. Pendapat Abu al-Aswad terkait dengan hak untuk berbeda pendapat. Dia menggunakan ayat al-Qur’an sebagai dalil, yaitu ayat yang berbunyi:


وإنا أو إياكم لعلى هدى أو فى ضلال مبين (سبأ : 24)

Pada kesempatan yang lain, Abu al-Aswad juga menjelaskan bolehnya menggunakan perkataan لولاي. Hal ini sesuai dengan sebuah syair yang berbunyi


وكم موطن لولاي طيحت كما هوى # بأجرامه من قنة النيق منهرى


 2. Penggunaan pendapat ulama terdahulu.

Hal ini misalnya yang terjadi pada ‘Abdullah bin Abi Ishaq yang membaca:


قل هو الله أحدٌ الله الصمد

Kemudian dia mendengar Nasr bin ‘Asim membacanya dengan cara:  قل هو الله أحدُ الله الصمد karena bertemunya dua tanwin. ‘Abdullah mengatakan kepada Nasr bahwa ‘Urwah  membaca ayat tersebut dengan tanwin, tetapi Nasr mengatakan bahwa bacaan ‘Urwah tidak baik. Maka ‘Abdullah membaca ayat tersebut tanpa tanwin seperti yang dikatakan oleh Nasr.

3. Perbedaan pendapat

Perbedaan pendapat ini terkait dengan prinsip-prinsip yang dirumuskan sendiri oleh para ahli nahwu. Sebagai contoh adalah ‘Abdurrahman bin Hurmuz yang membaca ayat dengan bacaan:


أو يأتيهم العذاب قُبُلاً (الكهف : 55)

Hal ini berbeda dengan ‘Isa bin ‘Umar yang membaca:

أو يأتيهم العذاب قِبَلاً (الكهف : 55)


‘Abdullah bin Abu Ishaq juga membaca beberapa ayat dengan cara berbeda, misalnya:


يا ليتنا نردَ ولا نكذبَ بآيات ربنا ونكونَ من المؤ منين (الأنعام : 27
والزانيةَ والزانيَ (النور : 2) dan والسارقَ والسارقةَ (المائدة : 38)

4. Pemeriksaan dan Penafsiran


Para ahli nahwu  mulai memeriksa kaidah dan menafsirkan teks sesuai dengan kaidah yang mereka susun. Sebagai contoh adalah perbedaan penafsiran antara ‘Isa bin ‘Umar dan Abu ‘Amr bin al-‘Ala. Keduanya membaca sebuah ayat dengan cara yang sama, yaitu ayat: يا جبال أوبي معه والطيرَ (سبأ : 10) . Akan tetapi, keduanya berbeda dalam penafsiran. Bagi ‘Isa, cara pembacaan seperti di atas terkait dengan adanya nida’, sedangkan Abu ‘Amr menyatakan adanya idmar dengan سَخَّرْنَا seperti dalam ayat yang berbunyi: ولسليمان الريحَ (سبأ : 12) .

5. Pemberlakuan Aturan Nahwu

Pemberlakuan ini dilakukan oleh para ahli nahwu terkait dengan penggunaan bahasa Arab di kalangan umat Islam. Sebagai contoh adalah Abu Muslim yang menjadi pengajar khalifah Malik bin Marwan. Dia bertanya kepada seseorang mengenai ayat:(تأزهم أزا (مريم : 83 dan إذا الموءودة سئلت (التكوير : 8) ketika dipakai dalam contoh ungkapan يا فاعلٌ افعلْ . Maka orang itu menjawab dengan perkataan: يا آز اُز dan يا وائد اِد . Maka Abu Muslim merasa bahwa perkataan ini tidak pernah didengarnya dari orang Arab dan memutuskan untuk tidak digunakan di kalangan umat Islam.

b. Tabaqat al-Bashriyyin

Dijelaskan dalam kitab "nasy'at an-nahwy" karya Muhammad thantawi, ada tujuh generasi  madrasah Bashrah yang masing-masing memiliki ciri khas yang berbeda dari masa ke masa;

1.     Generasi pertama,
Abu al-Aswad (69 H) menelurkan murid-muridnya ; Nashr bin 'Ashim (89 H), 'Anbasah Alfil, 'Abdurrahman bin Hurmuz), dan Yahya bin Ya'mar.

Karakteristik periode ini:

a. Tergabung dalam profesi Qori’. Para ulama Bashrah secara menyeluruh sebagai Qari Al-Qur’an, yang mempelajari hukum-hukumnya, yang haus akan bacaan al-Qur’an dan juga sebagai para perawi hadits.

b.  Memberi perhatian khusus terhadap "lahn" dalam kalam Arab, dan dalam al-Qur’an dan menentang fenomena terlarang ini.

c.  Mushaf-mushaf diberi titik dengan i‘rab yang dimulai oleh Abul Aswad Ad-Duali yang mendapat nasihat dari Ziyad ibn Abihi, kemudian diikuti oleh murid-murid setelahnya, sebagai penentangan terhadap "lahn" dalam al-Qur’an.

d. Awal penysusunan ilmu nahwu mendapat petunjuk dari Imam Ali r.a yang diawali oleh Abul Aswad dan diikuti oleh murid-muridnya.

e.  Tidak terdapat peninggalan berupa tulisan tentang generasi ini kecuali riwayat yang diklaim oleh Ibn Nadiim dan Qifthi.

2.     Generasi kedua.
Ibnu Abi Ishaq (117H), 'Isa bin 'Umar (149H), dan Abu 'Amr Ibnu al-'Ala (154H)

a.  Tergabung dalam profesi Ahli Qira dan Ahli Hadits.

b.  Memiliki perhatian pada realita "lahn" dalam kalam Arab dan al-Qur’an, juga dalam pembicaraan para pemimpin seperti al-Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqfi dan pemimpin lainnya.

c.  Ada kesepakatan dalam memberi titik mushaf dengan titik i‘rab.

d. Memberi tulisan mushaf dengan titik dan harakat atas nasihat dari Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqfi.

e.  Terdapat tambahan atas penyusunan ilmu Nahwu.

f.   Belum terdapat peninggalan berupa tulisan.

g.  Dimulai munculnya berbagai pendapat seperti terdapatnya pendapat antara Abu Umar al-Ula dan Abdullah bin Abu Ishak, dan antara Abu Umar al-Ula dan Isa bin Amr.

h.  al-Jami’ dan al-Kamil karya Isa ibn Amr.

3. Generasi ketiga.
Al Akhfasy al akbar (177H), Al-kholil (175H), Yunus bin Habib (182H). Karakteristik periode ini:

a. Dimulainya derivasi qias, dan implementasinya atas pembacaan al-Qur’an dan puisi Arab.

b. Dimulainya ta’lil kaidah nahwu dan ta’wil terhadap hal yang menyalahi kaidah.

c. Munculnya pendapat nahwu yang bersifat individual, dan pembacaan al-Qur’an yang berbeda dari ulama Jumhur.

d. al-Jami’ dan al-Kamil karya Isa ibn Amr.

Karya-karya al-Khalil:
Dalam bahasa:

a. Kitab Ma ‘anil-Huruf
b. Kitab an-Nuqath wat-Tasykil
c. Kitab al-Jamal
d. Kitab asy-Syawahid
e. Kitab al-‘Ain

Dalam ilmu Arud:
a. Kitab al-Arudh
b. Kitab al-Farsy wal-Mitsal

Al-Khalil meninggal pada tahun 170 H.

3. Yunus bin Habib
Salah satu pendapatnya yang berkaitan dengan Nahwu bahwa tashgir untuk kata قبائل adalah قبيّل, sementara Khalil dan Sibawaih berpendapat قبيئل .

4. Generasi keempat.
Sibawaih (188H) dan Al-Yazidy(202H)

Sibawaih merupakan salah satu produk aliran (madrasah) Basrah, yang telah mengarang buku nahwu berjudul "al-Kitab". Dari catatan di dalamnya dapat diambil kesimpulan bahwa di antara ciri khas aliran (madrasah) Basrah adalah berpegang pada pendapat jumhur bahasa (lughoh) bila terdapat khilaf. Jika terdapat yang menyalahi jumhur mereka takwilkan atau menggolongkannya sebagai kelompok yang ganjil (syadz), dan aliran (madrasah) ini selalu menggunakan sima'i dalam memecahkan suatu masalah yang berkaitan dengan gramatikal bahasa arab.

5. Generasi kelima.
Al-akhfasy (215H) dan Quthrub (206H)

Dalam ranah sejarah madrasah Bashrah, pendapat-pendapat Al-akhfasylah yang paling banyak  sejalan dengan ulama kufah, di antaranya ; Kemu'roban fi'il amr serta dibaca jazmnya fi'il tersebut secara taqdiran, diperbolehkannya Alwashfu dan juga addzarfu me rafa'kan isim dzahir  sebagai fa'il tanpa adanya 'I'timad contoh ; Qaaimun azzaidaani dan fiddaari zaidun , sedangkan permasalahan yang ke tiga adalah bolehnya penambahan min pada selain uslub iijab dan ma'rifah, seperti  pada potongan ayat yaghfir lakum min dzunuubikum. Dan masih ada lagi catatan-catatan dalam buku-buku referensi yang belum bisa kami sisipkan dalam makalah ini.

6. Generasi keenam,
Aljarmy (225 H), At-tuzy (238 H), Al-maziny (249H), Abu hatim (250H), Arriyasyi (257H)

Di antara tiga tokoh nahwu sezamannya, Al-maziny lah yang diakui oleh banyak orang akan kehebatannya  sekelas dengan gurunya "Sibawaih". Al-maziny dikenal memiliki argumen yang kuat dalam permasalahan nahwu, sampai-sampai 'ulama Kufah pun diam setelah mendengar hujjah yang panjang dan detail tentang kenashaban lafadz rajul. Kendati pengetahuannya yang luas, beliau enggan untuk menyusun karangan-karangan karena ketawadhu'annya pada sang guru Sibawaih. Karangan yang tercatat dalam sejarah adalah 'Ilal an-nahwi sebai satu-satunya kitab yang beliau tulis.

7. Generasi ketujuh,
Al-Mubarrid (258H).

Dari beberapa senior yang mendahuluinya, al-Maziny lah yang banyak mempengaruhi corak nahwu Al mubarrid. Sedangkan gelar al-Mubarrid yang artinnya al-mutsbit li al-haq,diberikan oleh sang guru ketika Meskipun pada masa hidupnya madrasah kufah sudah ramai, namun Al-mubarrid dalam perjalanan belajarnya tidak melulu megekor pendapat-pendapat yang ada, Tidak sedikit pendapat-pendapat baru seputar ilmu nahwu yang dibuat oleh al mubarrid, lebih lengkapnya bisa dibaca pada salah satu karya fenomenalnya kitab al-kamil .

B. Madrasah Kufah
a. Tentang Kufah

Kufah adalah sebuah kota yang baru didirikan 2-3 tahun setelah berdirinya kota Bashrah. Mayoritas penduduknya adalah para pejuang penakluk kota ini setelah menaklukkan persia. Sebagai kota Islam, sejarah Kufah bermula dari peristiwa perang Badar saat Umar Ibn Khatab beserta 70 orang sahabat dan 300 orang lainnya bermalam di Kufah. Mereka menunjuk Amar Ibn Yasir sebagai amir dan Abdullah Ibn Mas’ud sebagai muazin dan menteri urusan keagamaan. DR. Mahdi al-Makhzumi dan Abu Abas berkata bahwa Kufah adalah cikal-bakal negeri sastra, dan wajah dari negeri Irak, puncak impian dan harapan, tempat bermukimnya para sahabat yang terpilih dan tempat orang-orang mulia. Sebagai kota perjuangan, Kufah menjadi pusat kepemimpinan umum bagi para pejuang Muslim di Irak. Mengenai sisa-sisa fanatisme terhadap Arab, hal ini terlihat dari para pejuang yang datang dari Arab dan berperadaban ala Badui. Mereka hidup melajang, membangga-banggakan silsilah dan nasabnya, dan enggan berbaur dengan unsur-unsur lainnya.

Munculnya Madrasah Kufah dan studi Nahwu di Kufah bermula dari semakin ramainya dunia perniagaan yang bermula dari bertemunya kebudayaan yang heterogen di dalamnya. Sebagai penghormatan terhadap hijrahnya para ahli bahasa dan para penyair ke negeri ini, tepatnya sejak khalifah Umar Ibn Khatab memerintah Amar Ibn Yasir sebagai pemimpin Kufah dengan Abdulah Ibn Mas’ud sebagai menterinya. Studi Nahwu dimulai dengan pembacaan ayat-ayat Qur’an, hadist Nabi, Usul-Fiqh, dan pasal-pasal dalam hukum negara. Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan terhadap riwayat-riwayat puisi dan studi sastra untuk memposisikan adat-istiadat kuno yang mereka bangga-banggakan seperti al-Mufakharah, al-Munafarah, al-Isyadah, dan sebagainya. Studi ini dipelopori oleh Ali Hamzah al-Kisaa’i dan kemudian diteruskan oleh muridnya, Yahya Ibn Ziyad al-Fara'. 

Nahwu madzhab Bashrah adalah titik tolak Bagi Nahwu madzhab Kufah. Oleh karena itu, mayoritas para ahli bahasa dan ahli Nahwu dari Kufah mempelajari nahwu dari mazhab Bashrah. Sebagai contoh, nama-nama seperti Abu Ja’far ar-Ru’asi mengikuti mazhab Abu Amru Ibn al-Ala’i dan Isa Ibn Umar dalam bermazhab Bashrah, dan Khalah Mu’adz Ibn Muslim al-Harraa’i juga memanfaatkan mazhab keduanya dalam mempelajari Nahwu dan Shorf. Al-Kisa’i menganut mazhab Isa Ibn Umar, Khalil Ibn Ahmad, Yunus Ibn Habib, juga mengadopsi pemikiran-pemikiran Sibawaih. Namun hal ini bukan berarti bahwa nahwu kufah adalah nama lain dari nahwu bashrah yang berada di Bashrah, melainkan ia merupakan sebuah nahwu madzhab baru yang mempunyai karakteristik serta pedoman tersendiri.

Ada dua karakteristik yang membedakan nahwu Kufah dengan Bashrah yaitu perluasannya terhadap riwayah syi'ir dan qiyas, kemudian istilah-istilah nahwu serta yang berhubungan dengannya dari 'amil-'amil dan ma'mul.

Perluasan terhadap riwayah syi'ir dan qiyas

Merupakan sebuah faktor penting  yang membedakan madrasah Kufah dari Bashrah, dimana Bashrah sangat berpegang teguh pada apa yang didengar dari orang Arab yang terkenal dengan kefasihannya sehingga para ahli nahwu Bashrah tidak pernah menetapkan suatu kalimat dalam kitab-kitab mereka selain dari apa yang mereka dengar dari orang Arab. Ciri khas inilah yang menjadi awal perdebatan panjang antara kedua madrasah, Bashrah dan Kufah. Bashrah tetap berpegang teguh pada kefasihan orang arab dalam lughah dan syi'ir sementara Kufah mempermudah dengan tidak mempersulit suatu kalimat dalam lughah dan syi'ir dengan cara memperluas riwayah serta qiyas.

Singkat katanya, Kufah dengan perluasan riwayat dan qiyasnya menjadikan Bashrah lebih sahih dalam qiyas karena mereka tidak mengqiyaskan sesuatu yang syadz dan jarang, juga tidak meriwayatkan selain apa yang didengarnya dari orang yang telah terkenal kemurnian bahasanya sehingga apa yang diriwayatkan oleh Basrah adalah asli qoul Arab qodim yang disepakati jumhur. Namun, Kufah juga tidak akan segan-segan mengqiyaskan suatu kalimat ketika mereka mendengar kerusakan suatu kalimat tersebut yang disebabkan oleh orang Arab terdahulu atau Arab badui.

Istilah-istilah yang dipakai Kufah

Madrasah Kufah bermaksud menunjukkan jati dirinya sebagai sebuah madrasah yang independen meskipun sebagian dari para ahli nahwu Kufah mempelajari nahwunya dari Bashrah dengan cara membuat istilah-istilah yang berbeda dari istilah-istilah yang dipakai madrasah Bashrah serta memberlakukan pendapat-pendapat khusus di sebagian 'amil dan ma'mulat. Seperti mereka tak pernah mengucapkan kalimat maf'ul kecuali maf'ul bih, sedangkan maf'ul-maf'ul seperti maf'ul li ajlih, maf'ul mutlak, maf'ul fih hanya merupakan syibeh maf'ul. Madrasah Kufah juga mempunyai penamaan tersendiri terhadap dharaf, badal, tamyiz, dengan sebutan sifat wal mahal, tarjamah, dan  tafsir. 

b.Thabaqat Al-kufiyyin

GENERASI PERTAMA

1. Mu’adz al-Hara’i,
Nama aslinya adalah Abu Muslim Mu’adz Ibn Muslim al-Harraa’i. Tinggal di Kufah dan mendalami Nahwu bersama anak dari saudaranya, yaitu ar-Ru’asi dan menyebarkan prinsip-prinsip Nahwu madzhab Bashrah. Di Kufah ini, ia bekerja sebagai pengajar nahwu bagi anak-anak Abd al-Malik Ibn Marwan. Ia sangat mahir dalam menguasai Nahwu dan Shorf. Menurut as-Suyuthi, orang pertama yang menyusun buku tentang tashrif adalah Mu’adz. Pendapat ini belum tentu benar karena pemikiran-pemikiran Muadz tidak begitu berpengaruh terhadap perkembangan tashrif bahasa Arab. Karya Mu’adz ini diadopsi dari kumpulan pengetahuan tentang nahwu dan sharf dari buku Masaa’il at-Tadriib. Sejak saat itu, tashrif mulai dikenal sebagai pengetahuan yang mandiri sejak abad ke-2 H ketika susunannya diperbaharui oleh Uthman Ibn Baqiyah al-Maziniy dalam kitab yaitu at-Tahsrif setelah sekian lama menjadi bagian dari studi Nahwu. Mu’adz  wafat  di Kufah tahun 187 H. 

2. Ar-Ru’asi
Nama aslinya adalah Abu Ja’far Muhamad Ibn al-Hasan. Dijuluki ar-Ru’asi karena ia mempunyai kepala yang besar. Ia dibesarkan di Kufah, datang ke Bashrah dan belajar kepada Isa Ibn Umar, Abu Amr Ibn al-‘Ala’i, dan kembali ke Kufah untuk mempelajari Nahwu bersama pamannya, Mu’adz al-Hara’i, selain belajar dari al-Kisa’i dan al-Fara'. Ar-Ru’asi mengarang kitab Nahwu al-Faishal, yaitu kitab yang pertama kali muncul dan membahas tentang studi Nahwu madzhab Kufah. Ibn Nadim dan Ibn Anbari juga menyebutkan bahwa ar-Ru’asi ini memiliki banyak karya dalam ilmu Nahwu, di antaranya yaitu: al-Faishal, at-Tashghir, Ma’ani al-Qur’an, al-Waqf wal-Ibtidaa’, dan sebagainya. Ar-Ru’asi wafat di Kufah pada masa pemerintahan Harun ar-Rasyid.
Kedua pendahulu nahwu mazhab Bashrah ini telah memberikan dasar-dasar pijakan yang relatif sangat kuat dalam pembelajaran Nahwu meskipun kecenderungan ini bermula dari pembelajaran mereka terhadap Nahwu mazhab Bashrah.

GENERASI KEDUA

1. Al-Kisa’i
Nama lengkapnya Abu Hasan Ali ibn Hamzah, berkebangsaan Persia. Sedangkan “al-Kisa’i” merupakan julukan yang diberikan kepadanya. Sebagaimana diriwayatkan bahwa julukan tersebut diperoleh karena beliau menghadiri sebuah majlis Hamzah ibn Habib az-Ziyat dengan memakai baju (كساء) hitam yang mahal. Ketika absen, sang guru pun menyakan ketidakhadirannya kepada hadirin : apa yang telah dilakukan oleh si pemakai baju bagus?. Sejak saat itu, beliau lebih dikenal dengan panggilan al-Kisa’i. Dia lahir di Kufah, pada tahun 119 H dan wafat pada 189 H dalam perjalanannya menuju Tus (sebuah wilayah di Persia). 
Al-Kisa’i giat mengikuti beragam majlis qira’ah dengan guru-guru yang beraneka pula. Salah satunya, pembacaan syair yang dipimpin oleh Khalil ibn Ahmad. Hingga akhirnya Al-Kisa’i paham bahwa syair-syair tersebut bersumber dari masyarakat Badui yang bermukim di Hijaz, Nejed dan Tihamah. Untuk memuaskan rasa keingintahuannya, beliau mendatangi masyarakat tersebut dengan menuliskan setiap apa yang didengarnya sehingga menghabiskan 15 botol tinta.

Peran al-Kisa’i dalam mendirikan madrasah Kufah adalah keseriusannya dalam mempelajari nahwu dan kemudian menuliskannya. Ketika bermukim di Baghad, Al-Kisa’i konsen terhadap perkataan bangsa Arab kota yang bukan tidak mungkin mengandung kesalahan dalam pelafalan yang didengarnya. Al-Kisa’i tidak puas, dari sinilah berawal lahirnya dua madzhab; antara Kufah dan Bashrah, perdebatan antara Sibawaih dan Al-Kisa’i yang terkenal dengan a-Mas’alah az-Zanburiyah. Perdebatan ini dimenangkan oleh Al-Kisa’i dan momen ini menjadi tonggak stabilitas madzhab Kufah. Namun demikian, setelah kematian Sibawaih, Al-Kisa’i pun membaca “Kitab Sibawaih” (satu-satunya buku yang ditulis Sibawaih), meskipun dengan cara sembunyi-sembunyi.

Karakterisitik generasi kedua:
a.     pembahasan yang mendalam
b.    menggunakan siasat untuk meraih pengetahuan; membaca “Kitab Sibawaih” secara sembunyi-sembunyi.
c.     berdiskusi dengan para tokoh aliran Basrah
d.    penulisan dan pembukuan, seperti buku yang ditulisnya: Ma’anil Qur’an, Mukhtashirun fi an-Nahwi, al-Hudud an-Nahwiyah, dan lainnya.

GENERASI KETIGA

1.  Al-Ahmar
Dengan nama lengkap Abu Hasan Ali Ibn Hasan, tetapi terkenal dengan nama al-Ahmar. Beliau merupakan salah seorang murid Al-Kisa’i. Wafat dalam pelaksanaan haji pada tahun 194 H. Disebutkan oleh Tsa’lab bahwa beliau hapal 40 ribu syahid (kutipan, contoh) tentang nahwu. Adapun karyanya: Maqayis at-Tashrif, Tafannun al-Balgha’i.

2. Al-Fara’

Nama lengkapnya Abu Zakariya Yahya ibn Ziyad ibn Abdullah ibn Marwan ad-Dailumiy. Lahir di Kufah pada tahun 144 H, berkebangsaan Persia dan meninggal pada tahun 207 dalam perjalanannya menuju Mekkah. Menghabiskan hidupnya dengan mempelajari qira’ah, tafsir, syair dari Abu Bakar ibn ‘Ayyas dan Sufyan ibn ‘Iyyinah. Sedangkan guru bahasa dan nahwunya adalah Abi Ja’far ar-Ru’asiy dan al-Kisa’i Beliau juga seorang murid Al-Kisa’i yang banyak mendapat pengetahuan riwayat mengenai bangsa Arab dari Gurunya
Selanjutnya, beliau juga meneruskan studinya ke Bashrah setelah kematian Khalil ibn Ahmad, yang kemudian posisinya digantikan oleh Yunus ibn Habib. Hingga akhirnya, dia belajar kepada Yunus mengenai nahwu dan bahasa. Adapun karya-karyanya cukup banyak, yang di antaranya adalah: Lughatu al-Qur’an, an-Nawadir, al-Kitaab al-Kabiir fi an-Nahwi, dan lainnya.


3. Hisyam adh-Dharir
Nama lengkapnya Abu Abdullah Hisyam ibn Mu’awiyah ad-Dharir yang wafat pada tahun 209, sedangkan untuk tahun kelahirannya tidak disebutkan. Beliau juga merupakan salah seorang murid Al-Kisa’i, yang kemudian mengabdikan dirinya dengan menjadi tutorial bagi murid-muridnya. Dengan karya tiga buku yaitu: al-Hudud, al-Mukhtashir dan al-Qiyash.

4. Al-Lihyaani
Dengan nama lengkap Abu Hasan Ali ibn Mubarak, sedangkan nama “al-lihyan” sebagai bentuk penghormatan terhadap lihyan-nya (jenggot). Wafat pada tahun 220 H. Selain berguru kepada Al-Kisa’i, dia juga belajar kepada Abi Zayd, Abi Ubaidah dan lainnya.
Karakteristik generasi ketiga.

f.      Semakin maraknya penulisan baik dalam ilmu agama maupun ilmu bahasa.
g.     Dimulainya konsentrasi penulisan tentang Nahwu secara terpisah
h.    Perhatian khusus terhadap kesalahan lisan secara umum dan upaya memperbaikinya
i.      Lahirnya istilah-istilah Nahwu Kufah.

GENERASI KEEMPAT

1. Ibnu Sa’dan
Nama lengkapnya Abu Ja’far Muhammad ibn Sa’dan adh-Dharir. Lahir di Baghdad pada tahun 161 H, sedangkan tumbuh besar di Kufah. Kemudian meninggal dunia pada tahun 231 H, dengan menulis 1 buku Nahwu dan lainnya buku-buku mengenai Qira’at.

2. Ath-Thuwal
Beliau bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad ibn Ahmad ibn Abdullah ath-Thuwal, dan tumbuh di Kufah. Wafat pada tahun 234 H. Belajar nahwu kepada Al-Kisa’i. Kemudian ke Baghdad dengan 
mengikuti majlis Qira’ah Abu Umar dan ad-Dauri.

3. Ibnu Qadim
Nama lengkapnya Abu Ja’far Muhammad ibn Abdullah ibn Qadim. Wafat pada tahun 251 H. Ibnu Qadim mempelajari nahwu dari al-Fara, Tsa’lab. Adapun karya nahwunya adalah: al-Kaafi dan al-Mukhtashir. Karakteristik generasi ini secara umum tidak jauh berbeda dengan generasi sebelumnya (ketiga), hanya saja sudah mulai mengenal sharaf.

GENERASI KELIMA


Tsa’lab
Nama lengkapnya adalah Abu al-Abbas Ahmad ibn Yahya ibn Yazid, tetapi terkenal dengan Tsa’lab. Beliau berkebangsaan Persia, namun lahir dan tumbuh di Baghdad. Tahun kelahirannya pada 200 H. Sejak kecil sudah mempelajari berbagai ilmu; membaca, menulis, menghapal al-Qur’an dan sya’ir Arab. Karyanya:

a.     Majaalis Tsa’lab; di dalamnya merangkum berbagai pemikirannya tentang nahwu, bahasa, makna al-Qur’an dan syair-syair asing
B.    Al-Fashih
C.    Qawaaidasy-Syi’ri



Adapun karyanya yang membahas tentang nahwu adalah:
1.     Ikhtilafuan-Nahwiyiin
2.     Ma  Yansharifu wa malaa yansharif
3.     Hadduan-Nahwi

Karakteristiknya: 
a.  Pengetahuan yang beraneka ragam; nahwu, bahasa, balaghah dan lainnya
b. Banyaknya penulisan dari berbagai ilmu pengetahuan

5. Penutup

Demikianlah rangakaian mutiara sejarah nahwu yang terekam dalam dua  madrasah besar di negeri seribu peradaban, dari bacaan sederhana di atas minimal kita tahu kapan, dimana, serta bagaimana ilmu nahwu  lahir dan mengalami perkembangan, serta siapa saja orang yang berjasa besar dalam menjaga eksistensi bahasa arab dari masa kemasa. Sedikit banyak kita tahu secara garis besar perbedaan cara pandang masing-masing madrasah dalam upaya mereka menjaga dan memperbaiki kesalahan berbahasa.

Ingin hati membuktikan rasa cinta kami pada ilmu bahasa arab ini, namun kami belum mampu , hanya beberapa pengantar yang dapat kami luapkan dalam lautan kata. Dan walau bagaimanapun juga, tidak sampai disini kita berhenti dan merasa cukup  akan tali sejarah, dalam kesempatan selanjutnya insyaallah akan dikaji tentang generasi yang tidak kalah suksesnya dari Bashrah dan Kufah. Penulis hanya dapat berpesan "Samudra ilmu tidak akan selesai kita arungi, maka bersiap-siaplah  untuk selalu haus dan haus akan ilmuNya", Wallahu a'lam bi asshawab

6. Daftar Pustaka
-Nasy'ah an-nahwy wataarikh asyhur an-nuhaah, Syaikh Muhammad Thanthawy
-Madaaris nahwiyyah, Syauqy Dhaif
-Studi nahwu madzhab Bashrah dan Kufah, forum kajian linguistic Kudus.
------------------------------------------------------------------------------------------
Makalah ini disamapikan oleh Siti Fauziah dan Siti Sa'adah  dalam kajian Lughowiyat, pada hari Selasa 28 September 2010 diSekretariat SEMA-FBA.

0 komentar:

Posting Komentar