1. PROLOG
Empat
belas abad silam, ditandai dengan wahyu yang turun kepada
Rasulullah
saw, agama Islam dikenalkan di bumi suci jazirah arab.
Bangsa
yang memiliki seribu rahasia sejarah, bangsa yang tidak
terlampau
jauh silsilahnya dengan bangsa Sumeria, salah satu dari
peradaban
tertua di dunia.
Sudah
disinggung pada kajian sebelumnya bahwa bangsa arab dari
masa ke
masa telah mengalami perubahan di berbagai lini kehidupan,
baik
sosial, politik, hukum dan sebagainya. Sejalan dengan itu semua
bahasapun
memainkan peran yang tidak kalah penting dalam mengatur
Ya, Islam
bukan dihadiahkan untuk penduduk yang tinggal di sekitar
Makkah
dan Madinah saja, melainkan untuk seluruh umat manusia di
seluruh
penjuru dunia. Kesuksesan para pengikut setia Rasul, khusus
para
sahabat dalam misi menyampaikan nilai kebenaran dan menebar
butir-butir
al-furqaan sudah cukup membanggakan, hampir seluruh
anak
negeri benua Asia Barat ini berkenalan dengan lughatul qur'an.
Ibarat
bunga di hamparan taman akan banyak hama atau tumbuhan liar
yang
merusak, dan menjadi keharusan bagi si pemilik untuk tidak
membiarkannya.
Berkaca dari perumpamaan di atas, ilmu bahasa Arab
mulai
ramai dikaji dan didiskusikan oleh para sarjana Islam kala itu.
Kota
Bashrah di antaranya, di sanalah lahir dan berkembang madrasah
nahwiyyah,
disusul oleh saudara mudanya bernama Kufah, dua kota
yang
tidak akan pernah padam dari api sejarah.
Mengacu
pada silabus serta maraji' yang tersedia, makalah singkat kami
akan
mengulas seputar sejarah madrasah nahwu di kota Bashrah dan
Kufah
saja, dan tidak banyak yang kami singgung kecuali beberapa
pembahasan
sederhana, di antaranya ;
a. Munculnya madrasah
Bashrah bersamaan dengan lahirnya ilmu nahwu
b. Thabaqat al-bashriyyin
c. Madrasah Kufah, Lahir dan
berkembangnya
d. Karakteristik ilmu nahwu
madrasah Kufah
e. Beberapa Guru Besar
madrasah kufah
Demikian
wacana singkat dari makalah yang akan kami paparkan,
dan sudah
barang tentu jauh dari kesempurnaan, untuk itu besar
hati kami
untuk menerima kritik dan saran, semoga bermanfaat bagi
kita
semua, amin.
2. ISI
A. Madrasah Bashrah
a. Munculnya madrasah Basrah
Kota
Bashrah, yang konon sudah mencicipi Islam pada masa kholifah
'Umar bin
Khattab r.a., telah berhasil menjadi pionir lahirnya sebuah
ilmu tata
Bahasa Arab yang disebut dengan ilmu nahwu. Salah satu
ilmu yang
sangat penting kedudukanya dalam gramatikal Bahasa Arab.
Dengannya,
al-qur'an dan al-hadits terjaga dari cacat yang bisa merusak
makna
yang dimaksudkan. Salah seorang penyair berkata
menggambarkan
betapa pentingnya ilmu nahwu :
النحو أولى اوّلا أن يعلم اذالكلام دونه لن
يفهم
Sepanjang lika-liku sejarah, ilmu nahwu telah mengalami beberapa tahapan,
mulai dari marhalah "wadh'I wa at-takwin" ditangan Bashriyyin,
kemudian marhalah "an-nasy'i wa an-numuw", marhalah "an-nudhj wa
al kamal" kedua-duanya berada di bawah naungan Bashriyyin dan Kufiyyin,
menyusul setelahnya marhalah "at-tarjih" di tangan madrasah Baghdad.
Bashrah, sebuah kawasan di dekat kota Baghdad, d isanalah ilmu nahwu lahir
dan tumbuh. Sebagai pionir ilmu nahwu tentunya kota pelabuhan dagang itu
mempunyai beberapa kondisi yang menjadikan ilmu tersebut dapat kita rasakan
sampai sekarang. Kondisi tersebut diantaranya ;
1.Letak geografis Bashrah yang berada pada jarak 300 mil
dari sungai Tigris dan Eufrat sangat memungkinkan untuk membentuk personalitas
penduduk yang membuat mereka terkenal dengan kematangan berfikir. Letak kota
Bashrah yang berada di pedalaman juga menjadikan penduduk fashih dalam
berbahasa tanpa adanya pengaruh dari bahasa asing.
2.Stabilitas sosial yang bagus, terlepas dari kelabilan
politik dan pertentangan madzhab yang menjadikannya mempunyai peradaban yang
tinggi ditambah lagi dengan kesibukan penduduk dalam aktifitas keilmuan,
sehingga hal ini menjadikan Bashrah mempunyai kehidupan intelektual yang
tertib.
3.Pasar Mirbad yang terletak di pintu barat kota Bashrah
menjadi perkembangan keilmuan semakin pesat karena banyaknya orang yang
berkunjung untuk menyaksikan kebolehan para penyair memainkan kata-kata.
4.Masjid–masjid di kota Bashrah yang menjadi salah satu pusat
pengembangan dalam berbagai ilmu juga menjadi pendukung bagi perkembangan nahwu
dari masa kemasa.
Sejenak kita mengingat memori lama yang tak akan pernah
terlupakan tentang bagaimana nahwu terlahir sebagai sebuah disiplin ilmu. Telah
tercatat dalam sejarah dengan berbagai versi cerita, bagaimana munculnya
kekhawatiran dari seorang Abu al-Aswad ad-Dualy tentang rusaknya gramatikal
bahasa arab jika tidak ada sebuah kaidah yang mengikatnya. Salah satu riwayat
menyebutkan, suatu ketika Abu al-Aswad mendengar putrinya berkata,
mengungkapkan rasa kagumnya pada bintang yang memantulkan cahaya dengan
kalimat "Maa ahsanussamaa'i" yang seharusnya
adalah "Maa ahsanassamaa'a", yang merupakan sighah
ta'ajjub qiyasiy dalam pembahasan ilmu nahwu yang kita ketahui
sekarang ini. Setelah masa Abu al-Aswad, perbedaan mulai timbul di antara
para muridnya, seperti ‘Abdurrahman bin Hurmuz, Maimun al-Aqran, ‘Anbasah
al-Fil, Yahya bin Ya‘mur, Nasr bin ‘Ashim, dan juga para murid berikutnya,
seperti ‘Isa bin ‘Umar, Abu ‘Amr bin al-‘Ala, dan Yunus bin Habib.
Terkait dengan perkembangan ilmu nahwu madrasah Bashrah, sebagaimana yang
didiskusikan pada salah satu forum kajian linguistik di Indonesia, ada
lima karakteristik umum perkembangan madrasah bashrah, yaitu:
1. Penggunaan contoh dan dalil.
Cara ini dipakai agar pendapat yang diambil benar dan
sesuai dengan perkataan orang Arab. Abu al-Aswad memakai cara ini ketika Bani
Qusyair mempertanyakan masuknya dia ke dalam kelompok Syiah. Kemudian Abu
al-Aswad mengucapkan sebuah syair yang berbunyi;
ولست بمخطئ إن كان غيا فإن يك حبهم رشدا أصبه
Syair ini adalah bukti bahwa Abu al-Aswad tidak ragu-ragu. Pendapat Abu
al-Aswad terkait dengan hak untuk berbeda pendapat. Dia menggunakan ayat
al-Qur’an sebagai dalil, yaitu ayat yang berbunyi:
وإنا أو إياكم لعلى هدى أو فى ضلال مبين (سبأ :
24)
Pada kesempatan yang lain, Abu al-Aswad juga menjelaskan bolehnya
menggunakan perkataan لولاي. Hal ini
sesuai dengan sebuah syair yang berbunyi
وكم موطن لولاي طيحت كما هوى # بأجرامه من قنة النيق منهرى
2. Penggunaan pendapat ulama terdahulu.
Hal ini misalnya yang terjadi pada ‘Abdullah bin Abi Ishaq yang membaca:
قل هو الله أحدٌ الله الصمد
Kemudian dia mendengar Nasr bin ‘Asim membacanya dengan cara: قل هو الله أحدُ الله الصمد karena bertemunya dua
tanwin. ‘Abdullah mengatakan kepada Nasr bahwa ‘Urwah membaca ayat
tersebut dengan tanwin, tetapi Nasr mengatakan bahwa bacaan ‘Urwah tidak baik.
Maka ‘Abdullah membaca ayat tersebut tanpa tanwin seperti yang dikatakan oleh
Nasr.
3. Perbedaan pendapat
Perbedaan pendapat ini terkait dengan prinsip-prinsip yang dirumuskan
sendiri oleh para ahli nahwu. Sebagai contoh adalah ‘Abdurrahman bin Hurmuz
yang membaca ayat dengan bacaan:
أو يأتيهم العذاب قُبُلاً (الكهف : 55)
Hal ini berbeda dengan ‘Isa bin ‘Umar yang membaca:
أو يأتيهم العذاب قِبَلاً (الكهف :
55)
‘Abdullah bin Abu Ishaq juga membaca beberapa ayat dengan
cara berbeda, misalnya:
يا ليتنا نردَ ولا نكذبَ بآيات ربنا ونكونَ من المؤ منين (الأنعام : 27)
والزانيةَ والزانيَ (النور : 2) dan والسارقَ والسارقةَ (المائدة : 38)
4. Pemeriksaan dan Penafsiran
Para ahli nahwu mulai memeriksa kaidah dan
menafsirkan teks sesuai dengan kaidah yang mereka susun. Sebagai contoh adalah
perbedaan penafsiran antara ‘Isa bin ‘Umar dan Abu ‘Amr bin al-‘Ala. Keduanya
membaca sebuah ayat dengan cara yang sama, yaitu ayat: يا جبال أوبي معه والطيرَ (سبأ : 10) . Akan tetapi,
keduanya berbeda dalam penafsiran. Bagi ‘Isa, cara pembacaan seperti di atas
terkait dengan adanya nida’, sedangkan Abu ‘Amr menyatakan adanya idmar
dengan سَخَّرْنَا seperti dalam ayat yang
berbunyi: ولسليمان الريحَ (سبأ : 12) .
5. Pemberlakuan Aturan Nahwu
Pemberlakuan ini dilakukan oleh para ahli nahwu terkait dengan penggunaan
bahasa Arab di kalangan umat Islam. Sebagai contoh adalah Abu Muslim yang
menjadi pengajar khalifah Malik bin Marwan. Dia bertanya kepada seseorang
mengenai ayat:(تأزهم أزا (مريم : 83 dan إذا الموءودة سئلت (التكوير : 8) ketika dipakai dalam
contoh ungkapan يا فاعلٌ افعلْ .
Maka orang itu menjawab dengan perkataan: يا آز اُز dan يا وائد اِد .
Maka Abu Muslim merasa bahwa perkataan ini tidak pernah didengarnya dari orang
Arab dan memutuskan untuk tidak digunakan di kalangan umat Islam.
b. Tabaqat al-Bashriyyin
Dijelaskan dalam kitab "nasy'at an-nahwy" karya Muhammad
thantawi, ada tujuh generasi madrasah Bashrah yang masing-masing memiliki
ciri khas yang berbeda dari masa ke masa;
1. Generasi pertama,
Abu al-Aswad (69 H) menelurkan murid-muridnya ; Nashr bin
'Ashim (89 H), 'Anbasah Alfil, 'Abdurrahman bin Hurmuz), dan Yahya bin Ya'mar.
Karakteristik
periode ini:
a. Tergabung dalam profesi Qori’. Para ulama Bashrah
secara menyeluruh sebagai Qari Al-Qur’an, yang mempelajari hukum-hukumnya, yang
haus akan bacaan al-Qur’an dan juga sebagai para perawi hadits.
b. Memberi perhatian khusus terhadap
"lahn" dalam kalam Arab, dan dalam al-Qur’an dan menentang fenomena
terlarang ini.
c. Mushaf-mushaf diberi titik dengan i‘rab
yang dimulai oleh Abul Aswad Ad-Duali yang mendapat nasihat dari Ziyad ibn
Abihi, kemudian diikuti oleh murid-murid setelahnya, sebagai penentangan terhadap
"lahn" dalam al-Qur’an.
d. Awal penysusunan ilmu nahwu mendapat petunjuk
dari Imam Ali r.a yang diawali oleh Abul Aswad dan diikuti oleh murid-muridnya.
e. Tidak terdapat peninggalan berupa tulisan
tentang generasi ini kecuali riwayat yang diklaim oleh Ibn Nadiim dan Qifthi.
2. Generasi kedua.
Ibnu Abi
Ishaq (117H), 'Isa bin 'Umar (149H), dan Abu 'Amr Ibnu al-'Ala (154H)
a. Tergabung dalam profesi Ahli Qira dan Ahli
Hadits.
b. Memiliki perhatian pada realita
"lahn" dalam kalam Arab dan al-Qur’an, juga dalam pembicaraan para
pemimpin seperti al-Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqfi dan pemimpin lainnya.
c. Ada kesepakatan dalam memberi titik mushaf
dengan titik i‘rab.
d. Memberi tulisan mushaf dengan titik dan harakat
atas nasihat dari Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqfi.
e. Terdapat tambahan atas penyusunan ilmu
Nahwu.
f. Belum terdapat peninggalan berupa
tulisan.
g. Dimulai munculnya berbagai pendapat seperti
terdapatnya pendapat antara Abu Umar al-Ula dan Abdullah bin Abu Ishak, dan
antara Abu Umar al-Ula dan Isa bin Amr.
h. al-Jami’ dan al-Kamil karya Isa ibn Amr.
3.
Generasi ketiga.
Al Akhfasy al akbar (177H), Al-kholil (175H), Yunus bin
Habib (182H). Karakteristik periode ini:
a.
Dimulainya derivasi qias, dan implementasinya atas pembacaan al-Qur’an dan
puisi Arab.
b.
Dimulainya ta’lil kaidah nahwu dan ta’wil terhadap hal yang menyalahi kaidah.
c. Munculnya
pendapat nahwu yang bersifat individual, dan pembacaan al-Qur’an yang berbeda
dari ulama Jumhur.
d.
al-Jami’ dan al-Kamil karya Isa ibn Amr.
Karya-karya
al-Khalil:
Dalam
bahasa:
a. Kitab
Ma ‘anil-Huruf
b. Kitab
an-Nuqath wat-Tasykil
c. Kitab
al-Jamal
d. Kitab
asy-Syawahid
e. Kitab
al-‘Ain
Dalam
ilmu Arud:
a. Kitab
al-Arudh
b. Kitab
al-Farsy wal-Mitsal
Al-Khalil
meninggal pada tahun 170 H.
3. Yunus
bin Habib
Salah satu pendapatnya yang berkaitan dengan Nahwu bahwa
tashgir untuk kata قبائل adalah قبيّل, sementara Khalil dan Sibawaih berpendapat قبيئل .
4.
Generasi keempat.
Sibawaih
(188H) dan Al-Yazidy(202H)
Sibawaih
merupakan salah satu produk aliran (madrasah) Basrah, yang telah mengarang buku
nahwu berjudul "al-Kitab". Dari catatan di dalamnya dapat diambil
kesimpulan bahwa di antara ciri khas aliran (madrasah) Basrah adalah berpegang
pada pendapat jumhur bahasa (lughoh) bila terdapat khilaf. Jika terdapat yang
menyalahi jumhur mereka takwilkan atau menggolongkannya sebagai kelompok yang
ganjil (syadz), dan aliran (madrasah) ini selalu menggunakan sima'i dalam
memecahkan suatu masalah yang berkaitan dengan gramatikal bahasa arab.
5.
Generasi kelima.
Al-akhfasy
(215H) dan Quthrub (206H)
Dalam
ranah sejarah madrasah Bashrah, pendapat-pendapat Al-akhfasylah yang paling
banyak sejalan dengan ulama kufah, di antaranya ; Kemu'roban fi'il amr
serta dibaca jazmnya fi'il tersebut secara taqdiran,
diperbolehkannya Alwashfu dan juga addzarfu me
rafa'kan isim dzahir sebagai fa'il tanpa adanya 'I'timad contoh
; Qaaimun azzaidaani dan fiddaari zaidun , sedangkan
permasalahan yang ke tiga adalah bolehnya penambahan min pada selain uslub
iijab dan ma'rifah, seperti pada potongan ayat yaghfir lakum min
dzunuubikum. Dan masih ada lagi catatan-catatan dalam buku-buku
referensi yang belum bisa kami sisipkan dalam makalah ini.
6.
Generasi keenam,
Aljarmy
(225 H), At-tuzy (238 H), Al-maziny (249H), Abu hatim (250H), Arriyasyi (257H)
Di antara
tiga tokoh nahwu sezamannya, Al-maziny lah yang diakui oleh banyak orang akan
kehebatannya sekelas dengan gurunya "Sibawaih". Al-maziny
dikenal memiliki argumen yang kuat dalam permasalahan nahwu, sampai-sampai
'ulama Kufah pun diam setelah mendengar hujjah yang panjang dan detail tentang
kenashaban lafadz rajul. Kendati pengetahuannya yang luas, beliau enggan untuk
menyusun karangan-karangan karena ketawadhu'annya pada sang guru Sibawaih.
Karangan yang tercatat dalam sejarah adalah 'Ilal an-nahwi sebai satu-satunya
kitab yang beliau tulis.
7.
Generasi ketujuh,
Al-Mubarrid
(258H).
Dari
beberapa senior yang mendahuluinya, al-Maziny lah yang banyak mempengaruhi
corak nahwu Al mubarrid. Sedangkan gelar al-Mubarrid yang artinnya al-mutsbit
li al-haq,diberikan oleh sang guru ketika Meskipun pada masa hidupnya madrasah
kufah sudah ramai, namun Al-mubarrid dalam perjalanan belajarnya tidak melulu
megekor pendapat-pendapat yang ada, Tidak sedikit pendapat-pendapat baru
seputar ilmu nahwu yang dibuat oleh al mubarrid, lebih lengkapnya bisa dibaca
pada salah satu karya fenomenalnya kitab al-kamil .
B. Madrasah Kufah
a. Tentang Kufah
Kufah adalah sebuah kota yang baru didirikan 2-3 tahun
setelah berdirinya kota Bashrah. Mayoritas penduduknya adalah para pejuang
penakluk kota ini setelah menaklukkan persia. Sebagai kota Islam, sejarah
Kufah bermula dari peristiwa perang Badar saat Umar Ibn Khatab beserta 70 orang
sahabat dan 300 orang lainnya bermalam di Kufah. Mereka menunjuk Amar Ibn Yasir
sebagai amir dan Abdullah Ibn Mas’ud sebagai muazin dan menteri urusan
keagamaan. DR. Mahdi al-Makhzumi dan Abu Abas berkata bahwa Kufah adalah
cikal-bakal negeri sastra, dan wajah dari negeri Irak, puncak impian dan
harapan, tempat bermukimnya para sahabat yang terpilih dan tempat orang-orang
mulia. Sebagai kota perjuangan, Kufah menjadi pusat kepemimpinan umum bagi para
pejuang Muslim di Irak. Mengenai sisa-sisa fanatisme terhadap Arab, hal ini
terlihat dari para pejuang yang datang dari Arab dan berperadaban ala Badui.
Mereka hidup melajang, membangga-banggakan silsilah dan nasabnya, dan enggan
berbaur dengan unsur-unsur lainnya.
Munculnya Madrasah Kufah dan studi Nahwu
di Kufah bermula dari semakin ramainya dunia perniagaan yang bermula dari
bertemunya kebudayaan yang heterogen di dalamnya. Sebagai penghormatan terhadap
hijrahnya para ahli bahasa dan para penyair ke negeri ini, tepatnya sejak
khalifah Umar Ibn Khatab memerintah Amar Ibn Yasir sebagai pemimpin Kufah
dengan Abdulah Ibn Mas’ud sebagai menterinya. Studi Nahwu dimulai dengan
pembacaan ayat-ayat Qur’an, hadist Nabi, Usul-Fiqh, dan pasal-pasal dalam hukum
negara. Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan terhadap riwayat-riwayat puisi
dan studi sastra untuk memposisikan adat-istiadat kuno yang mereka
bangga-banggakan seperti al-Mufakharah, al-Munafarah, al-Isyadah, dan
sebagainya. Studi ini dipelopori oleh Ali Hamzah al-Kisaa’i dan kemudian
diteruskan oleh muridnya, Yahya Ibn Ziyad al-Fara'.
Nahwu madzhab Bashrah adalah titik tolak Bagi Nahwu
madzhab Kufah. Oleh karena itu, mayoritas para ahli bahasa dan ahli Nahwu dari
Kufah mempelajari nahwu dari mazhab Bashrah. Sebagai contoh, nama-nama seperti
Abu Ja’far ar-Ru’asi mengikuti mazhab Abu Amru Ibn al-Ala’i dan Isa Ibn Umar
dalam bermazhab Bashrah, dan Khalah Mu’adz Ibn Muslim al-Harraa’i juga
memanfaatkan mazhab keduanya dalam mempelajari Nahwu dan Shorf. Al-Kisa’i
menganut mazhab Isa Ibn Umar, Khalil Ibn Ahmad, Yunus Ibn Habib, juga
mengadopsi pemikiran-pemikiran Sibawaih. Namun hal ini bukan berarti bahwa
nahwu kufah adalah nama lain dari nahwu bashrah yang berada di Bashrah,
melainkan ia merupakan sebuah nahwu madzhab baru yang mempunyai karakteristik
serta pedoman tersendiri.
Ada dua karakteristik yang membedakan nahwu Kufah dengan
Bashrah yaitu perluasannya terhadap riwayah syi'ir dan qiyas, kemudian
istilah-istilah nahwu serta yang berhubungan dengannya dari 'amil-'amil dan
ma'mul.
Perluasan terhadap riwayah syi'ir dan qiyas
Merupakan
sebuah faktor penting yang membedakan madrasah Kufah dari Bashrah, dimana
Bashrah sangat berpegang teguh pada apa yang didengar dari orang Arab yang
terkenal dengan kefasihannya sehingga para ahli nahwu Bashrah tidak pernah
menetapkan suatu kalimat dalam kitab-kitab mereka selain dari apa yang mereka
dengar dari orang Arab. Ciri khas inilah yang menjadi awal perdebatan panjang
antara kedua madrasah, Bashrah dan Kufah. Bashrah tetap berpegang teguh pada
kefasihan orang arab dalam lughah dan syi'ir sementara Kufah mempermudah dengan
tidak mempersulit suatu kalimat dalam lughah dan syi'ir dengan cara memperluas
riwayah serta qiyas.
Singkat
katanya, Kufah dengan perluasan riwayat dan qiyasnya menjadikan Bashrah lebih
sahih dalam qiyas karena mereka tidak mengqiyaskan sesuatu yang syadz dan
jarang, juga tidak meriwayatkan selain apa yang didengarnya dari orang yang
telah terkenal kemurnian bahasanya sehingga apa yang diriwayatkan oleh Basrah
adalah asli qoul Arab qodim yang disepakati jumhur. Namun, Kufah juga tidak
akan segan-segan mengqiyaskan suatu kalimat ketika mereka mendengar kerusakan
suatu kalimat tersebut yang disebabkan oleh orang Arab terdahulu atau Arab
badui.
Istilah-istilah yang dipakai Kufah
Madrasah
Kufah bermaksud menunjukkan jati dirinya sebagai sebuah madrasah yang
independen meskipun sebagian dari para ahli nahwu Kufah mempelajari nahwunya
dari Bashrah dengan cara membuat istilah-istilah yang berbeda dari
istilah-istilah yang dipakai madrasah Bashrah serta memberlakukan
pendapat-pendapat khusus di sebagian 'amil dan ma'mulat. Seperti mereka tak
pernah mengucapkan kalimat maf'ul kecuali maf'ul bih, sedangkan maf'ul-maf'ul
seperti maf'ul li ajlih, maf'ul mutlak, maf'ul fih hanya merupakan syibeh
maf'ul. Madrasah Kufah juga mempunyai penamaan tersendiri terhadap dharaf,
badal, tamyiz, dengan sebutan sifat wal mahal, tarjamah, dan
tafsir.
b.Thabaqat Al-kufiyyin
GENERASI PERTAMA
1. Mu’adz al-Hara’i,
Nama aslinya adalah Abu Muslim Mu’adz Ibn Muslim
al-Harraa’i. Tinggal di Kufah dan mendalami Nahwu bersama anak dari saudaranya,
yaitu ar-Ru’asi dan menyebarkan prinsip-prinsip Nahwu madzhab Bashrah. Di Kufah
ini, ia bekerja sebagai pengajar nahwu bagi anak-anak Abd al-Malik Ibn
Marwan. Ia sangat mahir dalam menguasai Nahwu dan Shorf. Menurut
as-Suyuthi, orang pertama yang menyusun buku tentang tashrif adalah Mu’adz.
Pendapat ini belum tentu benar karena pemikiran-pemikiran Muadz tidak begitu
berpengaruh terhadap perkembangan tashrif bahasa Arab. Karya Mu’adz ini
diadopsi dari kumpulan pengetahuan tentang nahwu dan sharf dari buku Masaa’il
at-Tadriib. Sejak saat itu, tashrif mulai dikenal sebagai pengetahuan yang
mandiri sejak abad ke-2 H ketika susunannya diperbaharui oleh Uthman Ibn
Baqiyah al-Maziniy dalam kitab yaitu at-Tahsrif setelah sekian lama menjadi
bagian dari studi Nahwu. Mu’adz wafat di Kufah tahun 187 H.
2. Ar-Ru’asi
Nama aslinya adalah Abu Ja’far Muhamad Ibn al-Hasan. Dijuluki ar-Ru’asi
karena ia mempunyai kepala yang besar. Ia dibesarkan di Kufah, datang ke
Bashrah dan belajar kepada Isa Ibn Umar, Abu Amr Ibn al-‘Ala’i, dan kembali ke
Kufah untuk mempelajari Nahwu bersama pamannya, Mu’adz al-Hara’i, selain
belajar dari al-Kisa’i dan al-Fara'. Ar-Ru’asi mengarang kitab Nahwu
al-Faishal, yaitu kitab yang pertama kali muncul dan membahas tentang studi
Nahwu madzhab Kufah. Ibn Nadim dan Ibn Anbari juga menyebutkan bahwa ar-Ru’asi
ini memiliki banyak karya dalam ilmu Nahwu, di antaranya yaitu: al-Faishal,
at-Tashghir, Ma’ani al-Qur’an, al-Waqf wal-Ibtidaa’, dan sebagainya. Ar-Ru’asi
wafat di Kufah pada masa pemerintahan Harun ar-Rasyid.
Kedua pendahulu nahwu mazhab Bashrah ini telah memberikan dasar-dasar
pijakan yang relatif sangat kuat dalam pembelajaran Nahwu meskipun
kecenderungan ini bermula dari pembelajaran mereka terhadap Nahwu mazhab
Bashrah.
GENERASI KEDUA
1. Al-Kisa’i
Nama lengkapnya Abu Hasan Ali ibn Hamzah, berkebangsaan Persia. Sedangkan
“al-Kisa’i” merupakan julukan yang diberikan kepadanya. Sebagaimana
diriwayatkan bahwa julukan tersebut diperoleh karena beliau menghadiri sebuah
majlis Hamzah ibn Habib az-Ziyat dengan memakai baju (كساء)
hitam yang mahal. Ketika absen, sang guru pun menyakan ketidakhadirannya kepada
hadirin : apa yang telah dilakukan oleh si pemakai baju bagus?. Sejak saat itu,
beliau lebih dikenal dengan panggilan al-Kisa’i. Dia lahir di Kufah, pada tahun
119 H dan wafat pada 189 H dalam perjalanannya menuju Tus (sebuah wilayah di
Persia).
Al-Kisa’i giat mengikuti beragam majlis qira’ah dengan guru-guru yang
beraneka pula. Salah satunya, pembacaan syair yang dipimpin oleh Khalil ibn
Ahmad. Hingga akhirnya Al-Kisa’i paham bahwa syair-syair tersebut bersumber
dari masyarakat Badui yang bermukim di Hijaz, Nejed dan Tihamah. Untuk
memuaskan rasa keingintahuannya, beliau mendatangi masyarakat tersebut dengan
menuliskan setiap apa yang didengarnya sehingga menghabiskan 15 botol tinta.
Peran al-Kisa’i dalam mendirikan madrasah Kufah adalah keseriusannya dalam
mempelajari nahwu dan kemudian menuliskannya. Ketika bermukim di Baghad,
Al-Kisa’i konsen terhadap perkataan bangsa Arab kota yang bukan tidak mungkin
mengandung kesalahan dalam pelafalan yang didengarnya. Al-Kisa’i tidak puas,
dari sinilah berawal lahirnya dua madzhab; antara Kufah dan Bashrah, perdebatan
antara Sibawaih dan Al-Kisa’i yang terkenal dengan a-Mas’alah az-Zanburiyah.
Perdebatan ini dimenangkan oleh Al-Kisa’i dan momen ini menjadi tonggak
stabilitas madzhab Kufah. Namun demikian, setelah kematian Sibawaih, Al-Kisa’i
pun membaca “Kitab Sibawaih” (satu-satunya buku yang ditulis Sibawaih),
meskipun dengan cara sembunyi-sembunyi.
Karakterisitik
generasi kedua:
a. pembahasan yang mendalam
b. menggunakan siasat untuk meraih pengetahuan;
membaca “Kitab Sibawaih” secara sembunyi-sembunyi.
c. berdiskusi dengan para tokoh aliran Basrah
d. penulisan dan pembukuan, seperti buku yang
ditulisnya: Ma’anil Qur’an, Mukhtashirun fi an-Nahwi, al-Hudud an-Nahwiyah, dan
lainnya.
GENERASI KETIGA
1. Al-Ahmar
Dengan nama lengkap Abu Hasan Ali Ibn Hasan, tetapi terkenal dengan nama
al-Ahmar. Beliau merupakan salah seorang murid Al-Kisa’i. Wafat dalam
pelaksanaan haji pada tahun 194 H. Disebutkan oleh Tsa’lab bahwa beliau hapal
40 ribu syahid (kutipan, contoh) tentang nahwu. Adapun karyanya: Maqayis
at-Tashrif, Tafannun al-Balgha’i.
2. Al-Fara’
Nama lengkapnya Abu Zakariya Yahya ibn Ziyad ibn Abdullah
ibn Marwan ad-Dailumiy. Lahir
di Kufah pada tahun 144 H, berkebangsaan Persia dan meninggal pada tahun 207
dalam perjalanannya menuju Mekkah. Menghabiskan hidupnya dengan mempelajari
qira’ah, tafsir, syair dari Abu Bakar ibn ‘Ayyas dan Sufyan ibn ‘Iyyinah.
Sedangkan guru bahasa dan nahwunya adalah Abi Ja’far ar-Ru’asiy dan al-Kisa’i
Beliau juga seorang murid Al-Kisa’i yang banyak mendapat pengetahuan riwayat
mengenai bangsa Arab dari Gurunya
Selanjutnya, beliau juga meneruskan studinya ke Bashrah
setelah kematian Khalil ibn Ahmad, yang kemudian posisinya digantikan oleh
Yunus ibn Habib. Hingga akhirnya, dia belajar kepada Yunus mengenai nahwu dan
bahasa. Adapun karya-karyanya cukup banyak, yang di antaranya adalah: Lughatu
al-Qur’an, an-Nawadir, al-Kitaab al-Kabiir fi an-Nahwi, dan lainnya.
3. Hisyam adh-Dharir
Nama lengkapnya Abu Abdullah Hisyam ibn Mu’awiyah ad-Dharir yang wafat pada
tahun 209, sedangkan untuk tahun kelahirannya tidak disebutkan. Beliau juga
merupakan salah seorang murid Al-Kisa’i, yang kemudian mengabdikan dirinya
dengan menjadi tutorial bagi murid-muridnya. Dengan karya tiga buku yaitu:
al-Hudud, al-Mukhtashir dan al-Qiyash.
4. Al-Lihyaani
Dengan nama lengkap Abu Hasan Ali ibn Mubarak, sedangkan nama “al-lihyan”
sebagai bentuk penghormatan terhadap lihyan-nya (jenggot). Wafat pada tahun 220
H. Selain berguru kepada Al-Kisa’i, dia juga belajar kepada Abi Zayd, Abi
Ubaidah dan lainnya.
Karakteristik generasi ketiga.
f. Semakin maraknya penulisan baik dalam
ilmu agama maupun ilmu bahasa.
g. Dimulainya konsentrasi penulisan tentang
Nahwu secara terpisah
h. Perhatian khusus terhadap kesalahan lisan secara
umum dan upaya memperbaikinya
i. Lahirnya istilah-istilah Nahwu Kufah.
GENERASI KEEMPAT
1. Ibnu Sa’dan
Nama lengkapnya Abu Ja’far Muhammad ibn Sa’dan adh-Dharir. Lahir di Baghdad
pada tahun 161 H, sedangkan tumbuh besar di Kufah. Kemudian meninggal dunia
pada tahun 231 H, dengan menulis 1 buku Nahwu dan lainnya buku-buku mengenai
Qira’at.
2. Ath-Thuwal
Beliau bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad ibn Ahmad ibn Abdullah
ath-Thuwal, dan tumbuh di Kufah. Wafat pada tahun 234 H. Belajar nahwu kepada
Al-Kisa’i. Kemudian ke Baghdad dengan
mengikuti majlis Qira’ah Abu Umar dan ad-Dauri.
3. Ibnu Qadim
Nama lengkapnya Abu Ja’far Muhammad ibn Abdullah ibn Qadim. Wafat pada
tahun 251 H. Ibnu Qadim mempelajari nahwu dari al-Fara, Tsa’lab. Adapun karya
nahwunya adalah: al-Kaafi dan al-Mukhtashir. Karakteristik generasi ini secara
umum tidak jauh berbeda dengan generasi sebelumnya (ketiga), hanya saja sudah
mulai mengenal sharaf.
GENERASI KELIMA
Tsa’lab
Nama lengkapnya adalah Abu al-Abbas Ahmad ibn Yahya ibn
Yazid, tetapi terkenal dengan Tsa’lab. Beliau berkebangsaan Persia, namun lahir
dan tumbuh di Baghdad. Tahun kelahirannya pada 200 H. Sejak kecil sudah
mempelajari berbagai ilmu; membaca, menulis, menghapal al-Qur’an dan sya’ir
Arab. Karyanya:
a. Majaalis Tsa’lab; di dalamnya merangkum
berbagai pemikirannya tentang nahwu, bahasa, makna al-Qur’an dan syair-syair
asing
B. Al-Fashih
C. Qawaaidasy-Syi’ri
Adapun karyanya yang membahas tentang nahwu adalah:
1. Ikhtilafuan-Nahwiyiin
2. Ma Yansharifu wa malaa yansharif
3. Hadduan-Nahwi
Karakteristiknya:
a. Pengetahuan yang beraneka ragam; nahwu, bahasa,
balaghah dan lainnya
b. Banyaknya penulisan dari berbagai ilmu pengetahuan
5. Penutup
Demikianlah
rangakaian mutiara sejarah nahwu yang terekam dalam dua madrasah besar di
negeri seribu peradaban, dari bacaan sederhana di atas minimal kita tahu kapan,
dimana, serta bagaimana ilmu nahwu lahir dan mengalami perkembangan,
serta siapa saja orang yang berjasa besar dalam menjaga eksistensi bahasa arab
dari masa kemasa. Sedikit banyak kita tahu secara garis besar perbedaan cara
pandang masing-masing madrasah dalam upaya mereka menjaga dan memperbaiki
kesalahan berbahasa.
Ingin
hati membuktikan rasa cinta kami pada ilmu bahasa arab ini, namun kami belum
mampu , hanya beberapa pengantar yang dapat kami luapkan dalam lautan kata. Dan
walau bagaimanapun juga, tidak sampai disini kita berhenti dan merasa
cukup akan tali sejarah, dalam kesempatan selanjutnya insyaallah akan
dikaji tentang generasi yang tidak kalah suksesnya dari Bashrah dan Kufah.
Penulis hanya dapat berpesan "Samudra ilmu tidak akan selesai kita arungi,
maka bersiap-siaplah untuk selalu haus dan haus akan ilmuNya", Wallahu
a'lam bi asshawab
6. Daftar Pustaka
-Nasy'ah
an-nahwy wataarikh asyhur an-nuhaah, Syaikh Muhammad Thanthawy
-Madaaris
nahwiyyah, Syauqy Dhaif
-Studi
nahwu madzhab Bashrah dan Kufah, forum kajian linguistic Kudus.
------------------------------------------------------------------------------------------
Makalah ini
disamapikan oleh Siti Fauziah dan Siti Sa'adah dalam kajian Lughowiyat,
pada hari Selasa 28 September 2010 diSekretariat SEMA-FBA.






0 komentar:
Posting Komentar