Makalah Kajian Sejarah
SEMA FBA Mesir 2010-2011
Melihat Sang Penerus; Abu Bakar RA
Pembukaan
Abu Bakar RA sebagai sahabat dekat Nabi Muhammad SAW lebih dipilih
oleh mayoritas para sahabat dari pada Ali bin Abi Thalib RA yang merupakan
suami Fatimah binti Nabi Muhammad RA dan langsung bergerak memulihkan kondisi
kesatuan umat Islam dari serangan para pembangkang (kaum Murtad).[1]
Nasab Abu Bakar RA adalah Abdullah bin Abu Qahafah (memiliki nama
asli Utsman) bin Amir bin Amru bin Ka’ab bin Sa’ad bin Tayyim bin Marrah.
Sedangkan ibunya adalah Salma binti Shakhr bin ibnu Amir bin Ka’ab bin Sa’ad
bin Tayyim bin Marrah.[2]
Adapun nama ‘Atiq bukanlah nama asli akan tetapi gelar yang
diberikan oleh Nabi Muhammad SAW berdasarkan hadits dari ‘Aisyah RA yang
menceritakan bahwa ketika dalam suatu pertemuan bersama Nabi Muhammad SAW
antara laki-laki dan wanita dipisahkan hijab dan ketika Abu Bakar RA datang,
Nabi Muhammad SAW mengatakan bahwa siapapun yang ingin mengetahui siapa yang
dijauhi dari api neraka maka lihatlah Abu Bakar RA. Sedangkan nama Ash-Shiddiq
terdapat kisah dari Abu Wahab Maula Abu Hurairah, bahwa Nabi Muhammad SAW
ketika malam Isra’ Mi’raj berkata kepada Malaikat Jibril AS bahwa tidak akan
ada dari kaumnya yang membenarkan kisah Isra’ Mi’raj tersebut. Akan tetapi
Malaikat Jibril AS berkata Abu Bakar RA akan membenarkan segala ucapan Nabi
Muhammad SAW karena dia Ash-Shiddiq. Selain itu, Ibrahim An-Nakh’i berkata
bahwa penamaan Ash-Shiddiq dikarenakan rasa empati dan kasih sayang yang merupakan
sifat yang melekat pada diri Abu Bakar RA. Abu Bakar RA adalah laki-laki
pertama yang masuk Islam dan pada saat itu memiliki kekayaan sebesar 24
ribu dirham.[3]
Abu Bakar RA merupakan pedagang yang terkenal jujur di kabilahnya
dan merupakan sosok yang dihormati karena tidak pernah menyembah berhala dan
minum minuman keras. Perawakan Abu Bakar RA disebutkan oleh Dr. Mustofa
As-Suba’i adalah orang yang berkulit putih, sedikit daging di wajahnya, dahi
yang menonjol, memiliki banyak rambut serta memiliki badan yang tinggi.[4]
Abu Bakar RA dikenal sebagai sahabat Nabi Muhammad SAW yang ketika
diajak masuk Islam tidak menolak dan bahkan membantu segala perjuangan Nabi
Muhammad SAW dengan nyawa dan seluruh hartanya. Bahkan, Nabi Muhammad SAW
pernah mengatakan bahwa jika Nabi Muhammad SAW memberitakan sesuatu kepada Abu
Bakar RA, maka pasti Abu Bakar RA tidak membantah dan membenarkan apa yang
disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW tersebut. Abu Bakar RA adalah sahabat yang
selalu bersama dengan Nabi Muhammad SAW bahkan di ketika hijrah menuju Madinah
dan dalam berbagai keadaan selalu satu rasa dan satu pendapat dengan Nabi
Muhammad SAW.[5]
I. Menggantikan Nabi Muhammad SAW
Setelah Nabi Muhammad SAW menghembuskan nafas terakhir, terjadi
perkumpulan di As-Saqifah Bani Sa’idah untuk menentukan pemimpin pemerintahan.
Jenazah Nabi Muhammad SAW yang belum dimakamkan, ditinggalkan oleh Abu Bakar RA
dan Umar ibnu Al-Khatthab bersama Abu ‘Ubaidah ibnu Al-Jarrah menuju
perkumpulan Bani Sa’idah. Pada perkumpulan tersebut terdapat tiga pemikiran
tentang pengganti pemegang tampum kepemimpinan setelah Nabi Muhammad SAW
meninggal. Pertama kalangan Anshar yang mengatakan bahwa kaum Anshar adalah
penolong yang di mana ketika umat kaum Muhajirin datang ke Madinah, mereka yang
membantu dan memberikan tempat tinggal. Pemikiran kedua dari kaum Muhajirin
yang mengungkapkan bahwa mereka adalah kerabat Nabi Muhammad SAW ketika dalam
kesusahan di Makkah dan dengan adanya mereka di Madinah, mempersatukan kaum
Anshar yang tercerai berai. Sedangkan pemikiran ketiga dari Al-Habbab ibnu
Al-Mundzir yang mengungkapkan agar kaum Anshar memiliki pemimpin sendiri dan
kaum Muhajirin memiliki pemimpin sendiri, akan tetapi kaum Anshar dan kaum
Muhajirin sama-sama menolak pendapat ini.
Waktu tidak boleh berlalu lama sehingga pada akhirnya keputusan
sudah final ditentukan. Umar ibnu Al-Khatthab dan Abu ‘Ubidah ibnu Al-Jarrah
membaiat Abu Bakar RA yang kemudian disusul oleh kaum Anshar lainnya dengan
kesepakatan satu pendapat bahwa Abu Bakar RA adalah sahabat Nabi Muhammad SAW
terdekat dan menggantikan Nabi Muhammad SAW ketika berhalangan memimpin shalat
serta sahabat yang paling dekat perilaku akhlak dan manhaj berfikirnya dengan
Nabi Muhammad SAW. Hasil dri pertemuan di balai pertemuan Bani Sa’idah ini
kemudian disetujui oleh seluruh umat Islam dan kemudian Abu Bakar RA dibaiat di
dalam masjid di hadapan seluruh umat Islam. Pemilihan dan penetapan ini adalah
ketetapan politik para sahabat untuk agar tidak terlalu lama sehingga terjadi
pertikaian yang berkepanjangan. Perbedaan pendapat di kalangan sahabat tidak
terjadi pada kelompok atau partai mana yang berhak memimpin, akan tetapi hanya
pada siapakah figure yang layak memimpin dikarenakan para sahabat adalah satu
kesatuan yang telah dibina oleh Nabi Muhammad SAW sehingga memiliki peraudaraan
yang kuat.
Pemilihan pemimpin adalah suatu kebutuhan umat Islam di kala itu
untuk meneruskan misi da’wah yang merupakan tugas bgi umat Islam secara terus
menerus dan kontiniu. Pemilihan pemimpin umat Islam haruslah dengan musyawarah
dan disetujui oleh umat Islam seperti yang dilakukan pada zaman sekarang di
mana pemimpin dipilih secara langsung oleh rakyatnya. Setelah selesai memilih
pemimpin baru, umat Islam menguburkan jenazah Nabi Muhammad SAW dikarenakan
ketidakinginan untuk terpisah antara umat dan pemimpin sebelum terpilih
pemimpin baru yang menggantikan peran Nabi Muhammad SAW.[6]
Abu Bakar RA menjalankan pemerintahan dengan melaksanakan semua
aturan yang ditinggalkan Nabi Muhammad SAW dan bahkan menyempurnakan berbagai
perintah dan pelaksanaan kegiatan pemerintahan yang belum terlaksana sejak pada
zaman Nabi Muhammad SAW. Kepatuhan Abu Bakar RA dalam menjalankan semua
kegiatan pemerintahan dengan aturan yang dibuat oleh Nabi Muhammad SAW tanpa
ada perubahan apapun, menjadikannya sebagai titik pusat dari pemerintahan dan
keagamaan pada saat itu.[7]
II. Pemberangkatan Pasukan Usamah bin Zaid RA
Dua hari sebelum Nabi Muhammad SAW wafat, telah disipakan pasukan
menuju Syam yang dipimpin oleh Usamah bin Zaid yang merupakan pemuda berumur 20
tahun dan di dalam pasukan tersebut terdapat beberapa sahabat senior. Ketika
Abu Bakar RA memegang tampuk kepemimpinan, gerakan kaum Murtad mulai memanasi
suhu Jazirah Arab dengan di tambah gerakan para nabi palsu. Banyak dari
kalangan sahabat yang berpendapat agar pasukan Usamah bin Zaid dikonsentrasikan
memerangi gerakan-gerakan maker yang membahayakan kesatuan umat Islam. Dalam
musyawarah, Abu Bakar RA besikeras agar pasukan tersebut diberangkatkan
mengingat pasukan tersebut adalah wasiat dari Nabi Muhammad SAW. Perdebatan
alot terjadi dan Abu Bakar RA tetap memberangkatkan pasukan tersebut dan
disetujui dalam musyawarah tersebut gar tidak ada satu pun pasukan yang keluar
barisan danberada di Madinah sampai misi selesai terlaksana.
Setelah musyawarah, kalangan Anshar berpendapat agar komando
pasukan diganti kepada sahabat yang lebih senior dari Usamah bin Zaid dan
meminta Umar ibnu Al-Khatthab agar pendapat tersebut disampaikan kepada Abu
Bakar RA. Abu Bakar RA menolak pendapat tersebut dan besikeras bahwa komando di
tangan Usamah bin Zaid adalah wasiat Nabi Muhammad SAW dan harus dilaksanakan
dengan baik.
Abu Bakar RA pun mengantar pasukan Usamah bin Zaid sampai di luar
Madinah dengan berjalan kaki dan Usamah bin Zaid menunggang kuda dengan
didampingi Abdurrahman bin Auf yang menunggang kuda. Abu Bakar RA meminta izin
kepada Usamah bin Zaid agar Umar bin Al-Khatthab dapat berada di Madinah
menemani Abu Bakar RA dalam menjalankan pemerintahan. Pada posisi inilah, Abu
Bakar RA memberikan sinyal kepada pasukan agar menghormati Usamah bin Zaid
sebagai panglima perang dan tidak menganggap ukuran umur dan senioritas sebagai
alasan untuk tidak mematuhi dan menghormati pemimpin.
Kemenangan pasukan Usamah bin Zaid membuat pasukan Romawi mengakui
kekuatan umat Islam serta gerakan-gerakan makar di Jazirah Arab gemetar.
Pasukan kembali ke Madinah dengan membahwa kemenangan dan dengan kemenangan
itulah membangkitkan semangat umat Islam untuk kembali memberantas
gerakan-gerakan makar yang menggerogoti aqidah Islam.[8]
III. Perang terhadap Gerakan-gerakan Makar
Gerakan-gerakan makar yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah
gerakan-gerakan yang enggan membayar zakat, kaum Murtad dan pengaruh
gerakan-gerakan para nabi palsu yang menggerogoti aqidah umat Islam saat itu.
Tujuan dari pada memerangi kaum Murtad tidak hanya menjadi permasalahan agama
saja akan tetapi pada permasalahan politik yang berdampak pada persatuan umat Islam
pada saat itu yang dibayangi oleh emporium Romawi dan Persia yang selalu siap
menggerakkan pasukannya untuk meluluhlantakkan umat Islam yang merupakan
kekuatan baru.[9]
Pandangan Abu Bakar RA dan Umar ibnu Al-Katthab RA berbeda dalam
menyikapi para pembangkang zakat. Umar ibnu Al-Khattab RA berpendapat bahwa
sebaiknya mereka tidak diperangi karena mereka hanya enggan membayar zakat.
Sedangkan Abu Bakar RA berpendapat bahwa zakat adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari rukun Islam dan siapa pun yang tidak membayar zakat, sama
halnya telah keluar dari Islam (Murtad) dan wajib diperangi. Keengganan mereka
untuk tidak berzakat adalah tidak ingin menyerahkannya ke pusat pemerintahan
Madinah padahal, Jazirah Arab pada saat itu sedang mengalami musim paceklik dan
krisis pangan dan zakat adalah salah satu sarana untuk menyebarkan dan
menyamaratakan persediaan dan penyebaran kebutuhan pangan yang lebih merata ke
berbagai wilayah.
Selain itu, ancaman Romawi dan Persia juga harus diperhatikan dan
pusat pemerintahan perlu melakukan persiapan untuk menghadapi hal-hal yang
tidak diinginkan. Orang-orang Murtad, para nabi palsu dan mereka yang enggan
membayar zakat akan sangat mudah bergabung dengan Persia atau Romawi jika kedua
emperium itu membujuk mereka untuk bahu membahu menghancurkan umat Islam yang
baru muncul. Begitu juga dengan wibawa pusat pemerintahan harus dijaga demi
keutuhan dan persatuan umat.[10]
Ketika kelompok yang enggan berzakat mendatangi Madinah, Abu Bakar
RA memerintahkan agar para warga tinggal di masjid untuk menjaga keamanan dan
memerintahkan kepada beberapa sahabat muda seperti Ali bin Abi Thalib,
Az-Zubair bin Al-‘Awwam, Thalhah bin ‘Ubaidillah, Sa’ad bin Abi Waqash,
‘Abdurrahman bin ‘Auf, dan Abdulah bin Mas’ud untuk menjaga Madinah. Selain
itu, Abu Bakar RA mengirim utusan kepada beberapa kabilah di sekitar Madinah
untuk datang ke membantu menjaga Madinah dan terkumpullah dari kabilah Aslam,
Ghifar, Muzayyanah, Asyja’, Juhainah, dan Ka’ab. Selain itu, Abu Bakar RA juga
mengirimkan surat kepada beberapa wilayah untuk membantu penumpasan gerakan
makar tersebut. Salah satu tujuan surat tersebut adalah kepada Al-Fairuz yang
merupakan orang Persia yang masuk Islam agar membantu umat Islam dari bangsa
Arab untuk memerangi gerakan makar dan nabi palsu di Yaman.
Abu Bakar RA sempat mengungsi di luar Madinah akan tetapi Madinah
tetap bertahan dan mereka yang enggan membayar zakat berhasil masuk Madinah
pada malam hari dan membuat kekacauan di dalam sampai sebelum pagi muncul hari
Abu Bakar RA beserta para sahabat dan umat Islam berhasil merebut kembali
Madinah. Kabar paling menggembirakan adalam kembalinya pasukan Usamah bin Zaid
dengan membawa kemenangan dan dengan ini, Abu Bakar RA menyusun kembali
strategi untuk memerangi gerakan-gerakan makar yang berada di luar Madinah.[11]
Setibanya pasukan Usamah bin Zaid di Madinah, Abu Bakar RA
langsung membagi pasukan menjadi 11 bagian dan disebar ke berbagai penjuru
Jazirah Arab dengan membawa misi mengembalikan pemahaman tauhid yang diajarkan
oleh Nabi Muhammad SAW serta tunduk di bawah panji khalifah Nabi Muhammad SAW.[12]
Peperangan ini menunjukkan kewibawaan umat Islam
dalam menyelesaikan permasalahan dalam negeri dengan ketegasan dan kewibawaan
bahwa aqidah bukanlah hal atau wacana yang dapat dipermainkan untuk kepnetingan
pribadi atau golongan walaupun harus ditebus dengan nyawa para sahabat dari
kalangan senior sekalipun.
IV. Pengumpulan Al-Qur’an
Pengumpulan naskah Al-Qur’an adalah salah satu upaya terbesar yang
ditinggalkan oleh Abu Bakar RA kepada umat Islam dan umat manusia sehingga
mereka aqidah Islam tidak digoyang oleh riwayat dan cerita-cerita yang penuh
kemunafikan ketika itu di mana banyak yang murtad dan meluasnya pengaruh para
nabi palsu. Ide pengumpulan itu berawal dari Umar ibnu Al-Khatthab yang
memerhatikan 39 sahabat penghafal Al-Qur’an yang meninggal pada perang Yamamah
ketika memerangi nabi palsu Musailamah Al-Kaddzab.
Abu Bakar RA memusyawarahkan ide tersebut dengan memanggil Zaid
bin Tsabit yang merupakan generasi muda dari kalangan sahabat yang juga
merupakan penulis wahyu di kala Nabi Muhammad SAW masih hidup. Abu Bakar RA
sendiri awalnya keberatan karena Nabi Muhammad SAW tidak pernah memerintahkan
pengumpulan Al-Qur’an dalam satu kesatuan (buku) dan memang tugas tersebut
sangat berat. Akan tetapi bersedia Zaid bin Tsabit mengerjakan tugas tersebut
demi keutuhan umat Islam.[13]
V. Sistem Keuangan
Sebagai pimpinan, Abu Bakar RA memegang langsung keuangan Baitul
Mal dengan menempatkannya pada suatu tempat di daerah An-Nasih di wilayah
Madinah dan ketika pindah di Madinah memegang langsung keuangan pemerintahan di
rumahnya. Abu Bakar RA juga membagi langsung keperluan prajurit seperti senjata
dan bahan makanan. Sedangkan untuk santunan kepada fakir miskin, Abu Bakar RA
memisahkan pendanaan untuk militer dan kesejahteraan masyarakat.[14]
Landasan dari pada sistem yang digunakan oleh Abu Bakar RA tidak
jauh dari sistem yang digunakan oleh Nabi Muhammad SAW baik dari pendapatan
ataupun pengeluaran keuangan pemerintahan. Landasan pertama adalah keuangan
mendukung Jihad dan Jihad mendukung keuangan negara. Kedua adalah pengeluaran
dilakukan dengan adil di mana Abu Bakar RA membagi harta rampasan perang dengan
cara sama rata.[15] Dalam
hal ini, Dr. Muhamamd Imarah menjelaskan secara khusus alasan metode Abu Bakar
RA dalam pembagian harta rampasan perang berbeda dengan metode membagi sama
rata berbeda dengan cara yang dipakai oleh Umar ibnu Al-Khatthab yang membagi
berdasarkan kedekatan dengan Nabi Muhammad SAW dan kesenioritas. Abu Bakar RA
membagi rata karena tidak ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk membagi
berdasarkan kedekatan dan kesenioritasan. Selain itu, sedikitnya hasil rampasan
perang mengharuskan untuk membagi harta tersebut sama rata.[16]
Lamdasan ketiga adalah menggunakan keuangan negara untuk urusan
umat Islam. Sedangkan landasan keempat adalah dengan tidak menambah penghasilan
negara sehingga sesuai dengan apa yang dilakukan pada masa Nabi Muhammad SAW.
Adapun penghasilan negara berasal dari zakat, pajak, jizyah, infak dan wakaf
dari masyarakat. Selain itu, Abu Bakar RA juga membangun beberapa kota baru dan
membuat teluk sebagai pelabuhan buatan antara Mesir dan semenanjung Arab untuk
memudahkan perdagangan.[17]
VI. Ekspansi
Pada dasarnya, ekspansi yang dilakukan oleh Abu Bakar RA bukan
untuk perluasan wilayah semata akan tetapi untuk mengamankan keutuhan wilayah
umat Islam dari ancaman Persia dan Romawi yang selalu siap mengancam kapan
saja.[18]
Ekspansi pada zaman Abu Bakar RA dilakukan ke wilayah Persia dan
Romawi untuk menjaga kedaulatan dan kewibawaan umat Islam yang pada saat Nabi
Muhammad SAW sebagai tokoh kunci wafat, Romawi dan Persia mendukung
gerakan-gerakan makar yang ada di semenanjung Arab untuk menghancurkan umat
Islam dari dalam. Selain itu, tujuan ekspansi adalah untuk membebaskan
masyarakat Arab yang tinggal di kawasan Persia dan Romawi dari kekerajam dua
emperium tersebut seperti yang terjadi pada perang Hirah pada tahun 12 H yang
di mana justru, masyarakat sekitar kawasan Hirah berbondong-bondong meminta
perlindungan dari umat Islam setelah mengetahui perlakuan baik yang diterima
kepada masyarakat.
Menghadapi Persia lebih susah dari pada penghadapi Romawi
dikarenakan tabiat masyarakat Persia yang merupakan penduduk asli kawasan Irak
bercampur baur dengan masyarakat Arab dan lebih diterima dari pada Romawi yang
merupakan orang asing. Dapat terihat pada berbagai peperangan seperti
Al-Wiljah, Al-Hirah dan Al-Yass di mana raja Persia menggunakan masyarakat Arab
untuk menyerang pasukan Arab dari semenanjung Arab.
Khalid bin Al-Walid yang mengkomandoi menggunakan strategi klasik
dengan membunuh pimpinan pasukan musuh untuk merontokkan semangat pasukan musuh
dikarenakan musuh yang bersar secara jumlah memiliki kebanggaan yang membakar
semangat mereka untuk berperang. Dan dengan dihabisinya pimpinan pasukan musuh,
mengakibatkan pasukan musuh lebih memilih lari dari pada berperang tanpa
komando yang jelas. Setelah pasukan umat Islam menguasai bagian selatan Irak,
Khalid bin Al-Walid diperintahkan untuk membantu pasukan umat Islam memerangi
Romawi dan meninggalkan komando pasukan di Irak kepada Al-Mutsanna bin
Al-Harits akan tetapi pengganti tersebut tidak mampu menahan pasukan Persia
yang kembali menuntut balas sehingga kembali pulang ke semenanjung Arab. Peperangan
di Persia walaupun memaksa pasukan umat Islam kembali pulang, telah memberikan
semangat tersendiri bagi umat Islam bahwa umat Islam mampu menaklukkan
emperium-emperium besar dan membuktikan hadits-hadits Nabi Muhammad SAW.
Jumlah pasukan umat Islam setelah Khalid bin Al-Walid memimpin
pasukan di Yarmuk sebesar 36 ribu atau 40 ribu menurut riwayat yang lainnya.
Sedangkan pasukan Romawi berjumlah 240 ribu atau 100 ribu menurut riwayat
lainnya. Jumlah tersebut memang merupakan masalah besar bagi pasukan umat Islam
akan tetapi bagi Khalid bin Al-Walid, kemenangan bukan ditentukan dengan jumlah
akan tetapi dengan strategi perang. Posisi Romawi yang berada di dataran bawah,
menguntungkan pasukan umat Islam yang berada pada posisi dataran lebih atas
sehingga kemenangan berada di tangan umat Islam.
Pada perang Yarmuk ini, jumlah pasukan Romawi yang tewas sekitar
100 ribu pasukan sedangkan dari pasukan umat Islam sebesar tiga ribu pasukan.
Kemanangan inilah yang membuat Romawi harus angkat kepala menghormati umat
Islam sebagai sebuah kekuatan yang akan mengusir mereka dari tanah Arab.[19]
Penutup
Abu Bakar RA yang merupakan sahabat Nabi Muhammad SAW yang paling
terdekat pada dasarnya merupakan sahabat yang memiliki sifat lembut
sampai-sampai ketika ‘Aisyah RA diminta oleh Nabi Muhammad SAW memanggil Abu
Bakar RA untuk mengimami umat Islam shalat akan tetapi ‘Aisyah menolak karena
mengetahui bahwa Abu Bakar RA adalah orang yang hatinya paling lembut sehingga
jika membaca Al-Qur’an akan cepat tersentuh sehingga jama’ah tidak mendengar
suara Abu Bakar RA.[20] Akan
tetapi, setelah menjadi khalifah Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar RA menjadi
berpendirian teguh dan keras, walaupun tetap memperhatikan kesepakatan dan
mengambil keputusan demi kemaslahatan umat Islam secara umum.
Ketegasan tersebut merupakan tanggung jawab moral seorang pemimpin
yang jangan sampai terjadi kerusakan baik kerusakan aqidah ataupun kerusakan
akhlak di kalangan umat Islam saat itu. Seperti contoh ketika Abu Bakar RA
menerima surat dari Khalid bin Walid RA bahwa di beberapa wilayah Jazirah Arab
ada sebagian laki-laki yang menikahi laki-laki dan Abu Bakar RA pada musyawarah
dengan para sahabat memerintahkan untuk membakar mereka. Perintah tersebut
dilaksanakan oleh Khalid bin Walid RA.[21]
Gelar Ash-Shiddiq bukanlah sembarang gelar karena setiap apa yang
dilakukan dan diperintahkan Nabi Muhammad SAW dalam kebijakan pemerintahan
dilakukan karena yakin, di balik kebijakan tersebut mengandung hikmah dan nilai
tersendiri. Seperti halnya pengiriman pasukan Usamah bin Zaid yang pada saat
itu, justru kondisi dalam negeri sangat mencekam dengan gerakan-gerakan makar
yang pada dasarnya didalangi oleh kepentingan luar yaitu Romawi dan Persia
untuk menghancurkan umat Islam dari dalam.
Abu Bakar RA juga sangat berhati-hati dalam mengelola keuangan dan
diharuskan berlaku adil kepada siapapun. Bahkan dalam pembagian harta rampasan
perang, Abu Bakar RA memberlakukan pembagian rata tanpa melihat kedekatan dan
kesenioritasan pasukan. Ketika berdiskusi dengan Umar ibnu Al-Khatthab, Abu
Bakar menjelaskan bahwa mereka (pasukan) berhijrah (berperang) karena Allah SWT
dan biarkanlah Allah SWT yang menggaji (membayar) mereka.[22] Jika
pada saat krisis tersebut dibagi berdasarkan kedekatan dan kesenioritasan, akan
menghasilkan kecemburuan social yang berdampak terbentuknya kelompok-kelompok
berdasarkan perolehan harta rampasan perang yang dapat merusak kesatuan yang
perlu dijaga di masa sulit seperti itu.
Mush’ab Muqoddas Eka Purnomo
[2] Muhammad
bin Sa’ad w. 230 H., Tahqiq : Dr. Hamzah An-Nasyrati dkk., Ath-Thabaqat
Al-Kubra, Maktabah Al-Qayyimah, Cairo, Jilid Ketiga, Hal. 58
[4] Dr.
Mustofa As-Suba’i, Udhoma’unaa fii At-Tarikh, Dar As-Salam & Dar Al-Warraq,
Cairo, Cet.IV, 2006, Hal. 59-60
[6] Dr.
Muhammad Salim Al-‘Awwa, Fii An-Nudhum As-Siyasi li Ad-Daulah Al-Islamiyyah,
Dar Asy-Syuruq, Cairo, Cet. II., 2006, Hal 68-79
[9] Ahmad
Al-Juhaini & Muhammad Mustofa, Al-Islam wa Al-Akhar, Maktabah Al-Usroh, Cairo,
2007, Hal. 101
[13] Dr.
Muhammad Naisan Sulaiman dkk.,Dirasat fi As-Sirah An-Nabawiyah wa ‘Ashr
Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin, Universitas Al-Azhar, Cairo, 1999, Hal. 254-255
[15] Qutb
Ibrahim Muhammad, As-Siyasah Al-Maaliyyah li Abi Bakr Ash-Shiddiq, Al-Hai’ah
Al-‘Aamah Al-Maishriyyah li Al-Kutub, Cairo, 1990, Hal. 89-91
[19] Dr.
Muhammad Muhammad Abdul Qadil Al-Khathib, ‘Ashr Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin,
Universitas Al-Azhar, Hal. 64-81
[20] Dr.
Muhammad Ahmad Mahmud Hasbullah, Fii As-Siirah An-Nabawiyah, Dar Al-Ittihad
At-Ta’awuni li Ath-Thaba’ah, Cairo, 2005, Hal 382
[21] Dr.
Mustofa Abdurrazaq, Tamhid li Tarikh Al-Falsafah Al-Islamiyyah, Maktabah
Al-Usroh, Cairo, 2007, Hal. 166






0 komentar:
Posting Komentar