senat mahasiswa indonesia fakultas bahasa arab mesir

Selasa, 10 Juli 2012

SANG PENERUS ABU BAKAR


Makalah Kajian Sejarah
SEMA FBA Mesir 2010-2011

Melihat Sang Penerus; Abu Bakar RA

Pembukaan

Abu Bakar RA sebagai sahabat dekat Nabi Muhammad SAW lebih dipilih oleh mayoritas para sahabat dari pada Ali bin Abi Thalib RA yang merupakan suami Fatimah binti Nabi Muhammad RA dan langsung bergerak memulihkan kondisi kesatuan umat Islam dari serangan para pembangkang (kaum Murtad).[1] 

Nasab Abu Bakar RA adalah Abdullah bin Abu Qahafah (memiliki nama asli Utsman) bin Amir bin Amru bin Ka’ab bin Sa’ad bin Tayyim bin Marrah. Sedangkan ibunya adalah Salma binti Shakhr bin ibnu Amir bin Ka’ab bin Sa’ad bin Tayyim bin Marrah.[2]

Adapun nama ‘Atiq bukanlah nama asli akan tetapi gelar yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW berdasarkan hadits dari ‘Aisyah RA yang menceritakan bahwa ketika dalam suatu pertemuan bersama Nabi Muhammad SAW antara laki-laki dan wanita dipisahkan hijab dan ketika Abu Bakar RA datang, Nabi Muhammad SAW mengatakan bahwa siapapun yang ingin mengetahui siapa yang dijauhi dari api neraka maka lihatlah Abu Bakar RA. Sedangkan nama Ash-Shiddiq terdapat kisah dari Abu Wahab Maula Abu Hurairah, bahwa Nabi Muhammad SAW ketika malam Isra’ Mi’raj berkata kepada Malaikat Jibril AS bahwa tidak akan ada dari kaumnya yang membenarkan kisah Isra’ Mi’raj tersebut. Akan tetapi Malaikat Jibril AS berkata Abu Bakar RA akan membenarkan segala ucapan Nabi Muhammad SAW karena dia Ash-Shiddiq. Selain itu, Ibrahim An-Nakh’i berkata bahwa penamaan Ash-Shiddiq dikarenakan rasa empati dan kasih sayang yang merupakan sifat yang melekat pada diri Abu Bakar RA. Abu Bakar RA adalah laki-laki pertama yang masuk Islam dan pada saat  itu memiliki kekayaan sebesar 24 ribu dirham.[3]

Abu Bakar RA merupakan pedagang yang terkenal jujur di kabilahnya dan merupakan sosok yang dihormati karena tidak pernah menyembah berhala dan minum minuman keras. Perawakan Abu Bakar RA disebutkan oleh Dr. Mustofa As-Suba’i adalah orang yang berkulit putih, sedikit daging di wajahnya, dahi yang menonjol, memiliki banyak rambut serta memiliki badan yang tinggi.[4]

Abu Bakar RA dikenal sebagai sahabat Nabi Muhammad SAW yang ketika diajak masuk Islam tidak menolak dan bahkan membantu segala perjuangan Nabi Muhammad SAW dengan nyawa dan seluruh hartanya. Bahkan, Nabi Muhammad SAW pernah mengatakan bahwa jika Nabi Muhammad SAW memberitakan sesuatu kepada Abu Bakar RA, maka pasti Abu Bakar RA tidak membantah dan membenarkan apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW tersebut. Abu Bakar RA adalah sahabat yang selalu bersama dengan Nabi Muhammad SAW bahkan di ketika hijrah menuju Madinah dan dalam berbagai keadaan selalu satu rasa dan satu pendapat dengan Nabi Muhammad SAW.[5]

I. Menggantikan Nabi Muhammad SAW

Setelah Nabi Muhammad SAW menghembuskan nafas terakhir, terjadi perkumpulan di As-Saqifah Bani Sa’idah untuk menentukan pemimpin pemerintahan. Jenazah Nabi Muhammad SAW yang belum dimakamkan, ditinggalkan oleh Abu Bakar RA dan Umar ibnu Al-Khatthab bersama Abu ‘Ubaidah ibnu Al-Jarrah menuju perkumpulan Bani Sa’idah. Pada perkumpulan tersebut terdapat tiga pemikiran tentang pengganti pemegang tampum kepemimpinan setelah Nabi Muhammad SAW meninggal. Pertama kalangan Anshar yang mengatakan bahwa kaum Anshar adalah penolong yang di mana ketika umat kaum Muhajirin datang ke Madinah, mereka yang membantu dan memberikan tempat tinggal. Pemikiran kedua dari kaum Muhajirin yang mengungkapkan bahwa mereka adalah kerabat Nabi Muhammad SAW ketika dalam kesusahan di Makkah dan dengan adanya mereka di Madinah, mempersatukan kaum Anshar yang tercerai berai. Sedangkan pemikiran ketiga dari Al-Habbab ibnu Al-Mundzir yang mengungkapkan agar kaum Anshar memiliki pemimpin sendiri dan kaum Muhajirin memiliki pemimpin sendiri, akan tetapi kaum Anshar dan kaum Muhajirin sama-sama menolak pendapat ini.

Waktu tidak boleh berlalu lama sehingga pada akhirnya keputusan sudah final ditentukan. Umar ibnu Al-Khatthab dan Abu ‘Ubidah ibnu Al-Jarrah membaiat Abu Bakar RA yang kemudian disusul oleh kaum Anshar lainnya dengan kesepakatan satu pendapat bahwa Abu Bakar RA adalah sahabat Nabi Muhammad SAW terdekat dan menggantikan Nabi Muhammad SAW ketika berhalangan memimpin shalat serta sahabat yang paling dekat perilaku akhlak dan manhaj berfikirnya dengan Nabi Muhammad SAW. Hasil dri pertemuan di balai pertemuan Bani Sa’idah ini kemudian disetujui oleh seluruh umat Islam dan kemudian Abu Bakar RA dibaiat di dalam masjid di hadapan seluruh umat Islam. Pemilihan dan penetapan ini adalah ketetapan politik para sahabat untuk agar tidak terlalu lama sehingga terjadi pertikaian yang berkepanjangan. Perbedaan pendapat di kalangan sahabat tidak terjadi pada kelompok atau partai mana yang berhak memimpin, akan tetapi hanya pada siapakah figure yang layak memimpin dikarenakan para sahabat adalah satu kesatuan yang telah dibina oleh Nabi Muhammad SAW sehingga memiliki peraudaraan yang kuat.

Pemilihan pemimpin adalah suatu kebutuhan umat Islam di kala itu untuk meneruskan misi da’wah yang merupakan tugas bgi umat Islam secara terus menerus dan kontiniu. Pemilihan pemimpin umat Islam haruslah dengan musyawarah dan disetujui oleh umat Islam seperti yang dilakukan pada zaman sekarang di mana pemimpin dipilih secara langsung oleh rakyatnya. Setelah selesai memilih pemimpin baru, umat Islam menguburkan jenazah Nabi Muhammad SAW dikarenakan ketidakinginan untuk terpisah antara umat dan pemimpin sebelum terpilih pemimpin baru yang menggantikan peran Nabi Muhammad SAW.[6]

Abu Bakar RA menjalankan pemerintahan dengan melaksanakan semua aturan yang ditinggalkan Nabi Muhammad SAW dan bahkan menyempurnakan berbagai perintah dan pelaksanaan kegiatan pemerintahan yang belum terlaksana sejak pada zaman Nabi Muhammad SAW. Kepatuhan Abu Bakar RA dalam menjalankan semua kegiatan pemerintahan dengan aturan yang dibuat oleh Nabi Muhammad SAW tanpa ada perubahan apapun, menjadikannya sebagai titik pusat dari pemerintahan dan keagamaan pada saat itu.[7]

II. Pemberangkatan Pasukan Usamah bin Zaid RA

Dua hari sebelum Nabi Muhammad SAW wafat, telah disipakan pasukan menuju Syam yang dipimpin oleh Usamah bin Zaid yang merupakan pemuda berumur 20 tahun dan di dalam pasukan tersebut terdapat beberapa sahabat senior. Ketika Abu Bakar RA memegang tampuk kepemimpinan, gerakan kaum Murtad mulai memanasi suhu Jazirah Arab dengan di tambah gerakan para nabi palsu. Banyak dari kalangan sahabat yang berpendapat agar pasukan Usamah bin Zaid dikonsentrasikan memerangi gerakan-gerakan maker yang membahayakan kesatuan umat Islam. Dalam musyawarah, Abu Bakar RA besikeras agar pasukan tersebut diberangkatkan mengingat pasukan tersebut adalah wasiat dari Nabi Muhammad SAW. Perdebatan alot terjadi dan Abu Bakar RA tetap memberangkatkan pasukan tersebut dan disetujui dalam musyawarah tersebut gar tidak ada satu pun pasukan yang keluar barisan danberada di Madinah sampai misi selesai terlaksana.

Setelah musyawarah, kalangan Anshar berpendapat agar komando pasukan diganti kepada sahabat yang lebih senior dari Usamah bin Zaid dan meminta Umar ibnu Al-Khatthab agar pendapat tersebut disampaikan kepada Abu Bakar RA. Abu Bakar RA menolak pendapat tersebut dan besikeras bahwa komando di tangan Usamah bin Zaid adalah wasiat Nabi Muhammad SAW dan harus dilaksanakan dengan baik.

Abu Bakar RA pun mengantar pasukan Usamah bin Zaid sampai di luar Madinah dengan berjalan kaki dan Usamah bin Zaid menunggang kuda dengan didampingi Abdurrahman bin Auf yang menunggang kuda. Abu Bakar RA meminta izin kepada Usamah bin Zaid agar Umar bin Al-Khatthab dapat berada di Madinah menemani Abu Bakar RA dalam menjalankan pemerintahan. Pada posisi inilah, Abu Bakar RA memberikan sinyal kepada pasukan agar menghormati Usamah bin Zaid sebagai panglima perang dan tidak menganggap ukuran umur dan senioritas sebagai alasan untuk tidak mematuhi dan menghormati pemimpin.

Kemenangan pasukan Usamah bin Zaid membuat pasukan Romawi mengakui kekuatan umat Islam serta gerakan-gerakan makar di Jazirah Arab gemetar. Pasukan kembali ke Madinah dengan membahwa kemenangan dan dengan kemenangan itulah membangkitkan semangat umat Islam untuk kembali memberantas gerakan-gerakan makar yang menggerogoti aqidah Islam.[8]

III. Perang terhadap Gerakan-gerakan Makar

Gerakan-gerakan makar yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah gerakan-gerakan yang enggan membayar zakat, kaum Murtad dan pengaruh gerakan-gerakan para nabi palsu yang menggerogoti aqidah umat Islam saat itu. Tujuan dari pada memerangi kaum Murtad tidak hanya menjadi permasalahan agama saja akan tetapi pada permasalahan politik yang berdampak pada persatuan umat Islam pada saat itu yang dibayangi oleh emporium Romawi dan Persia yang selalu siap menggerakkan pasukannya untuk meluluhlantakkan umat Islam yang merupakan kekuatan baru.[9]

Pandangan Abu Bakar RA dan Umar ibnu Al-Katthab RA berbeda dalam menyikapi para pembangkang zakat. Umar ibnu Al-Khattab RA berpendapat bahwa sebaiknya mereka tidak diperangi karena mereka hanya enggan membayar zakat. Sedangkan Abu Bakar RA berpendapat bahwa zakat adalah bagian yang tidak terpisahkan dari rukun Islam dan siapa pun yang tidak membayar zakat, sama halnya telah keluar dari Islam (Murtad) dan wajib diperangi. Keengganan mereka untuk tidak berzakat adalah tidak ingin menyerahkannya ke pusat pemerintahan Madinah padahal, Jazirah Arab pada saat itu sedang mengalami musim paceklik dan krisis pangan dan zakat adalah salah satu sarana untuk menyebarkan dan menyamaratakan persediaan dan penyebaran kebutuhan pangan yang lebih merata ke berbagai wilayah.

Selain itu, ancaman Romawi dan Persia juga harus diperhatikan dan pusat pemerintahan perlu melakukan persiapan untuk menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan. Orang-orang Murtad, para nabi palsu dan mereka yang enggan membayar zakat akan sangat mudah bergabung dengan Persia atau Romawi jika kedua emperium itu membujuk mereka untuk bahu membahu menghancurkan umat Islam yang baru muncul. Begitu juga dengan wibawa pusat pemerintahan harus dijaga demi keutuhan dan persatuan umat.[10]

Ketika kelompok yang enggan berzakat mendatangi Madinah, Abu Bakar RA memerintahkan agar para warga tinggal di masjid untuk menjaga keamanan dan memerintahkan kepada beberapa sahabat muda seperti Ali bin Abi Thalib, Az-Zubair bin Al-‘Awwam, Thalhah bin ‘Ubaidillah, Sa’ad bin Abi Waqash, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, dan Abdulah bin Mas’ud untuk menjaga Madinah. Selain itu, Abu Bakar RA mengirim utusan kepada beberapa kabilah di sekitar Madinah untuk datang ke membantu menjaga Madinah dan terkumpullah dari kabilah Aslam, Ghifar, Muzayyanah, Asyja’, Juhainah, dan Ka’ab. Selain itu, Abu Bakar RA juga mengirimkan surat kepada beberapa wilayah untuk membantu penumpasan gerakan makar tersebut. Salah satu tujuan surat tersebut adalah kepada Al-Fairuz yang merupakan orang Persia yang masuk Islam agar membantu umat Islam dari bangsa Arab untuk memerangi gerakan makar dan nabi palsu di Yaman.

Abu Bakar RA sempat mengungsi di luar Madinah akan tetapi Madinah tetap bertahan dan mereka yang enggan membayar zakat berhasil masuk Madinah pada malam hari dan membuat kekacauan di dalam sampai sebelum pagi muncul hari Abu Bakar RA beserta para sahabat dan umat Islam berhasil merebut kembali Madinah. Kabar paling menggembirakan adalam kembalinya pasukan Usamah bin Zaid dengan membawa kemenangan dan dengan ini, Abu Bakar RA menyusun kembali strategi untuk memerangi gerakan-gerakan makar yang berada di luar Madinah.[11]

Setibanya pasukan Usamah bin Zaid di Madinah, Abu Bakar RA langsung membagi pasukan menjadi 11 bagian dan disebar ke berbagai penjuru Jazirah Arab dengan membawa misi mengembalikan pemahaman tauhid yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW serta tunduk di bawah panji khalifah Nabi Muhammad SAW.[12]

Peperangan ini menunjukkan kewibawaan umat Islam dalam menyelesaikan permasalahan dalam negeri dengan ketegasan dan kewibawaan bahwa aqidah bukanlah hal atau wacana yang dapat dipermainkan untuk kepnetingan pribadi atau golongan walaupun harus ditebus dengan nyawa para sahabat dari kalangan senior sekalipun.

IV. Pengumpulan Al-Qur’an

Pengumpulan naskah Al-Qur’an adalah salah satu upaya terbesar yang ditinggalkan oleh Abu Bakar RA kepada umat Islam dan umat manusia sehingga mereka aqidah Islam tidak digoyang oleh riwayat dan cerita-cerita yang penuh kemunafikan ketika itu di mana banyak yang murtad dan meluasnya pengaruh para nabi palsu. Ide pengumpulan itu berawal dari Umar ibnu Al-Khatthab yang memerhatikan 39 sahabat penghafal Al-Qur’an yang meninggal pada perang Yamamah ketika memerangi nabi palsu Musailamah Al-Kaddzab.

Abu Bakar RA memusyawarahkan ide tersebut dengan memanggil Zaid bin Tsabit yang merupakan generasi muda dari kalangan sahabat yang juga merupakan penulis wahyu di kala Nabi Muhammad SAW masih hidup. Abu Bakar RA sendiri awalnya keberatan karena Nabi Muhammad SAW tidak pernah memerintahkan pengumpulan Al-Qur’an dalam satu kesatuan (buku) dan memang tugas tersebut sangat berat. Akan tetapi bersedia Zaid bin Tsabit mengerjakan tugas tersebut demi keutuhan umat Islam.[13]

V. Sistem Keuangan

Sebagai pimpinan, Abu Bakar RA memegang langsung keuangan Baitul Mal dengan menempatkannya pada suatu tempat di daerah An-Nasih di wilayah Madinah dan ketika pindah di Madinah memegang langsung keuangan pemerintahan di rumahnya. Abu Bakar RA juga membagi langsung keperluan prajurit seperti senjata dan bahan makanan. Sedangkan untuk santunan kepada fakir miskin, Abu Bakar RA memisahkan pendanaan untuk militer dan kesejahteraan masyarakat.[14]

Landasan dari pada sistem yang digunakan oleh Abu Bakar RA tidak jauh dari sistem yang digunakan oleh Nabi Muhammad SAW baik dari pendapatan ataupun pengeluaran keuangan pemerintahan. Landasan pertama adalah keuangan mendukung Jihad dan Jihad mendukung keuangan negara. Kedua adalah pengeluaran dilakukan dengan adil di mana Abu Bakar RA membagi harta rampasan perang dengan cara sama rata.[15] Dalam hal ini, Dr. Muhamamd Imarah menjelaskan secara khusus alasan metode Abu Bakar RA dalam pembagian harta rampasan perang berbeda dengan metode membagi sama rata berbeda dengan cara yang dipakai oleh Umar ibnu Al-Khatthab yang membagi berdasarkan kedekatan dengan Nabi Muhammad SAW dan kesenioritas. Abu Bakar RA membagi rata karena tidak ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk membagi berdasarkan kedekatan dan kesenioritasan. Selain itu, sedikitnya hasil rampasan perang mengharuskan untuk membagi harta tersebut sama rata.[16]

Lamdasan ketiga adalah menggunakan keuangan negara untuk urusan umat Islam. Sedangkan landasan keempat adalah dengan tidak menambah penghasilan negara sehingga sesuai dengan apa yang dilakukan pada masa Nabi Muhammad SAW. Adapun penghasilan negara berasal dari zakat, pajak, jizyah, infak dan wakaf dari masyarakat. Selain itu, Abu Bakar RA juga membangun beberapa kota baru dan membuat teluk sebagai pelabuhan buatan antara Mesir dan semenanjung Arab untuk memudahkan perdagangan.[17]

VI. Ekspansi

Pada dasarnya, ekspansi yang dilakukan oleh Abu Bakar RA bukan untuk perluasan wilayah semata akan tetapi untuk mengamankan keutuhan wilayah umat Islam dari ancaman Persia dan Romawi yang selalu siap mengancam kapan saja.[18] 

Ekspansi pada zaman Abu Bakar RA dilakukan ke wilayah Persia dan Romawi untuk menjaga kedaulatan dan kewibawaan umat Islam yang pada saat Nabi Muhammad SAW sebagai tokoh kunci wafat, Romawi dan Persia mendukung gerakan-gerakan makar yang ada di semenanjung Arab untuk menghancurkan umat Islam dari dalam. Selain itu, tujuan ekspansi adalah untuk membebaskan masyarakat Arab yang tinggal di kawasan Persia dan Romawi dari kekerajam dua emperium tersebut seperti yang terjadi pada perang Hirah pada tahun 12 H yang di mana justru, masyarakat sekitar kawasan Hirah berbondong-bondong meminta perlindungan dari umat Islam setelah mengetahui perlakuan baik yang diterima kepada masyarakat.

Menghadapi Persia lebih susah dari pada penghadapi Romawi dikarenakan tabiat masyarakat Persia yang merupakan penduduk asli kawasan Irak bercampur baur dengan masyarakat Arab dan lebih diterima dari pada Romawi yang merupakan orang asing. Dapat terihat pada berbagai peperangan seperti Al-Wiljah, Al-Hirah dan Al-Yass di mana raja Persia menggunakan masyarakat Arab untuk menyerang pasukan Arab dari semenanjung Arab.

Khalid bin Al-Walid yang mengkomandoi menggunakan strategi klasik dengan membunuh pimpinan pasukan musuh untuk merontokkan semangat pasukan musuh dikarenakan musuh yang bersar secara jumlah memiliki kebanggaan yang membakar semangat mereka untuk berperang. Dan dengan dihabisinya pimpinan pasukan musuh, mengakibatkan pasukan musuh lebih memilih lari dari pada berperang tanpa komando yang jelas. Setelah pasukan umat Islam menguasai bagian selatan Irak, Khalid bin Al-Walid diperintahkan untuk membantu pasukan umat Islam memerangi Romawi dan meninggalkan komando pasukan di Irak kepada Al-Mutsanna bin Al-Harits akan tetapi pengganti tersebut tidak mampu menahan pasukan Persia yang kembali menuntut balas sehingga kembali pulang ke semenanjung Arab. Peperangan di Persia walaupun memaksa pasukan umat Islam kembali pulang, telah memberikan semangat tersendiri bagi umat Islam bahwa umat Islam mampu menaklukkan emperium-emperium besar dan membuktikan hadits-hadits Nabi Muhammad SAW.

Jumlah pasukan umat Islam setelah Khalid bin Al-Walid memimpin pasukan di Yarmuk sebesar 36 ribu atau 40 ribu menurut riwayat yang lainnya. Sedangkan pasukan Romawi berjumlah 240 ribu atau 100 ribu menurut riwayat lainnya. Jumlah tersebut memang merupakan masalah besar bagi pasukan umat Islam akan tetapi bagi Khalid bin Al-Walid, kemenangan bukan ditentukan dengan jumlah akan tetapi dengan strategi perang. Posisi Romawi yang berada di dataran bawah, menguntungkan pasukan umat Islam yang berada pada posisi dataran lebih atas sehingga kemenangan berada di tangan umat Islam.

Pada perang Yarmuk ini, jumlah pasukan Romawi yang tewas sekitar 100 ribu pasukan sedangkan dari pasukan umat Islam sebesar tiga ribu pasukan. Kemanangan inilah yang membuat Romawi harus angkat kepala menghormati umat Islam sebagai sebuah kekuatan yang akan mengusir mereka dari tanah Arab.[19]

Penutup
Abu Bakar RA yang merupakan sahabat Nabi Muhammad SAW yang paling terdekat pada dasarnya merupakan sahabat yang memiliki sifat lembut sampai-sampai ketika ‘Aisyah RA diminta oleh Nabi Muhammad SAW memanggil Abu Bakar RA untuk mengimami umat Islam shalat akan tetapi ‘Aisyah menolak karena mengetahui bahwa Abu Bakar RA adalah orang yang hatinya paling lembut sehingga jika membaca Al-Qur’an akan cepat tersentuh sehingga jama’ah tidak mendengar suara Abu Bakar RA.[20] Akan tetapi, setelah menjadi khalifah Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar RA menjadi berpendirian teguh dan keras, walaupun tetap memperhatikan kesepakatan dan mengambil keputusan demi kemaslahatan umat Islam secara umum.

Ketegasan tersebut merupakan tanggung jawab moral seorang pemimpin yang jangan sampai terjadi kerusakan baik kerusakan aqidah ataupun kerusakan akhlak di kalangan umat Islam saat itu. Seperti contoh ketika Abu Bakar RA menerima surat dari Khalid bin Walid RA bahwa di beberapa wilayah Jazirah Arab ada sebagian laki-laki yang menikahi laki-laki dan Abu Bakar RA pada musyawarah dengan para sahabat memerintahkan untuk membakar mereka. Perintah tersebut dilaksanakan oleh Khalid bin Walid RA.[21]

Gelar Ash-Shiddiq bukanlah sembarang gelar karena setiap apa yang dilakukan dan diperintahkan Nabi Muhammad SAW dalam kebijakan pemerintahan dilakukan karena yakin, di balik kebijakan tersebut mengandung hikmah dan nilai tersendiri. Seperti halnya pengiriman pasukan Usamah bin Zaid yang pada saat itu, justru kondisi dalam negeri sangat mencekam dengan gerakan-gerakan makar yang pada dasarnya didalangi oleh kepentingan luar yaitu Romawi dan Persia untuk menghancurkan umat Islam dari dalam.

Abu Bakar RA juga sangat berhati-hati dalam mengelola keuangan dan diharuskan berlaku adil kepada siapapun. Bahkan dalam pembagian harta rampasan perang, Abu Bakar RA memberlakukan pembagian rata tanpa melihat kedekatan dan kesenioritasan pasukan. Ketika berdiskusi dengan Umar ibnu Al-Khatthab, Abu Bakar menjelaskan bahwa mereka (pasukan) berhijrah (berperang) karena Allah SWT dan biarkanlah Allah SWT yang menggaji (membayar) mereka.[22] Jika pada saat krisis tersebut dibagi berdasarkan kedekatan dan kesenioritasan, akan menghasilkan kecemburuan social yang berdampak terbentuknya kelompok-kelompok berdasarkan perolehan harta rampasan perang yang dapat merusak kesatuan yang perlu dijaga di masa sulit seperti itu.

Mush’ab Muqoddas Eka Purnomo



[1] William Travis Hanes III, ed, World History, Harcourt Brace & Company, Austin, 1997, Hal. 250
[2] Muhammad bin Sa’ad w. 230 H., Tahqiq : Dr. Hamzah An-Nasyrati dkk., Ath-Thabaqat Al-Kubra, Maktabah Al-Qayyimah, Cairo, Jilid Ketiga, Hal. 58
[3] Ibid., Hal-59-62
[4] Dr. Mustofa As-Suba’i, Udhoma’unaa fii At-Tarikh, Dar As-Salam & Dar Al-Warraq, Cairo, Cet.IV, 2006, Hal. 59-60
[5] Ibid., Hal. 60
[6] Dr. Muhammad Salim Al-‘Awwa, Fii An-Nudhum As-Siyasi li Ad-Daulah Al-Islamiyyah, Dar Asy-Syuruq, Cairo, Cet. II., 2006, Hal 68-79
[7] Dr. Mas’ud Ahmad Mustofa, Aqalim Daulah Al-Islamiyyah, Maktabah Al-Usroh, Cairo, 2006, Hal. 95
[8] Dr. Ali Ash-Shalabi, Abu Bakar Ash-Shiddiq, Dar Al-Andalus Al-Jadid, Cairo, 2008, Hal. 175-190
[9] Ahmad Al-Juhaini & Muhammad Mustofa, Al-Islam wa Al-Akhar, Maktabah Al-Usroh, Cairo, 2007, Hal. 101
[10] Ibid., Hal. 102-103
[11] Dr. Ali Ash-Shalabi, Op.cit. Hal. 200-206
[12] Ibid., Hal. 212-215
[13] Dr. Muhammad Naisan Sulaiman dkk.,Dirasat fi As-Sirah An-Nabawiyah wa ‘Ashr Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin, Universitas Al-Azhar, Cairo, 1999, Hal. 254-255
[14] Dr. Mas’ud Ahmad Mustofa, Op.Cit, Hal. 96-97
[15] Qutb Ibrahim Muhammad, As-Siyasah Al-Maaliyyah li Abi Bakr Ash-Shiddiq, Al-Hai’ah Al-‘Aamah Al-Maishriyyah li Al-Kutub, Cairo, 1990, Hal. 89-91
[16] Dr. Muhammad Imarah, Al-Islam wa Ats-Tsaurah, Dar Asy-Syuruq, Cairo, Cet. IV. 2006, Hal. 92
[17] Qutb Ibrahim Muhammad, Op.Cit, Hal. 93-98
[18] Ahmad Al-Juhaini & Muhammad Mustofa, Op.Cit., Hal. 103-104
[19] Dr. Muhammad Muhammad Abdul Qadil Al-Khathib, ‘Ashr Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin, Universitas Al-Azhar, Hal. 64-81
[20] Dr. Muhammad Ahmad Mahmud Hasbullah, Fii As-Siirah An-Nabawiyah, Dar Al-Ittihad At-Ta’awuni li Ath-Thaba’ah, Cairo, 2005, Hal 382
[21] Dr. Mustofa Abdurrazaq, Tamhid li Tarikh Al-Falsafah Al-Islamiyyah, Maktabah Al-Usroh, Cairo, 2007, Hal. 166
[22] Ibid., Hal. 165-166

0 komentar:

Posting Komentar